Rabu, 14 Desember 2011

Indonesia Negara "gagal"?

Surat Kabar Independen Forum Indonesia Baru, 28 Nop 2011

Oleh : Amru Alba Abqa, S.Ap
Indonesia sudah merdeka 6 dekade, tepatnya 66 tahun pada 17 Agustus 2011 yang lalu. Tetapi jika kita bandingkan Indonesia dengan negara tetangga Malaysia yang belakangan merdeka, Korea Selatan, Taiwan dan Thailand, Indonesia jauh ketinggalan walau negeri kita ini tidak seburuk kondisi negara-negara terbelakang di Asia dan Afrika. Indonesia memenuhi berbagai ciri untuk kita katakan gagal. Misalnya, tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat secara layak (Stoddard ; 2000), tidak berhasil menanggulangi masalah dalam negeri dan tidak berdaya menepis tekanan luar negeri (Rotberg ; 2002), gagal menanggulangi permasalahan lingkungan dan politik (Diamond, Collaps ; 2005). Itu semua adalah ciri-ciri negara gagal secara fungsional.
Sedangkan secara eksistensial, Indonesia gagal karena tidak mampu menampilkan otoritas dan legitimasi kekuasaannya dihadapan berbagai kekuatan “gelap” seperti penyelundupan (barang dan manusia), perjudian, penjualan manusia, pelacuran, pencurian kayu dan hasil laut, korupsi, sampai terorisme (Arbi Sanit dalam Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia Transisional ; 2005). Pembangunan kota-kota besar di Indonesia sama sekali tidak memihak kepada rakyat kecil, tetapi berpihak kepada pengusaha dan konglomerat. Pusat-pusat bisnis dalam kota tidak menjaga kelestarian lingkungan, polusi udara, tidak ada tempat penampungan air sehingga banjir menjadi langganan dan bising. Jalanan didalam kota semberaut, kurang penataan, kurang pelayanan dari polisi lalu lintas dan masyarakat sudah tidak bisa menikmati keindahan alam yang asri.
Cara yang diterapkan untuk menanggulangi kemiskinan selalu keliru, korupsi merajalela sehingga uang rakyat bocor disana-sini sampai mendekati 50% dari total anggaran yang tersedia. Etos kerja aparat pemerintah juga rendah, pelayanan kesehatan buruk, kurang keterampilan aparatur pemerintah dan terbatasnya wawasan para wakil rakyat. Buruknya tingkat kesehatan masyarakat karena kurang gizi, masyarakat kurang gizi karena rendahnya pendapatan, pendapatan rendah karena rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan, pengetahuan rendah karena rendahnya pendidikan, pendidikan rendah karena kurang pendapatan, pendapatan kurang karena keterbatasan lapangan kerja, berputar-putar disekitar itu-itu saja seperti lingkaran setan.
Biaya pendidikan mahal, masyarakat kita hanya bangga dengan simbol, misalnya bangga apabila telah memiliki ijazah sarjana, padahal tidak punya kemampuan nyata dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Sekolah tidak menciptakan manusia siap pakai, sekolah kejuruan yang diharapkan menciptakan manusia siap pakai juga tidak berkembang. Kemiskinan juga disebabkan oleh sistem pendidkan yang salah. Meskipun sudah puluhan tahun membangun perekonomian dengan berpijak pada prinsip pasar tetapi masih saja pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak cenderung membaik. Buktinya hingga saat ini rakyat kita belum juga sejahtera. Ternyata ekonomi pasar justru menghasilkan kesengsaraan, kesenjangan, kemunduran, ketergantungan, dan kerentanan.
Akar masalah kegagalan ekonomi adalah banyaknya ekonom pasar yang memihak kepada pemilik modal, dalam hal ini pengusaha asing. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini bukan saja pertarungan ideologi ekonomi neoliberalisme melawan sistem ekonomi produk pendiri bangsa seperti Muhammad Hatta dengan koperasinya tetapi sudah berada pada pertarungan kedaulatan. Indonesia tidak bisa lagi mengatur perekonomiannya sendiri karena hampir semua sektor dikuasai pihak asing. Ekonomi pasar bebas telah menyebabkan kegagalan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Menurut Plato, tujuan pembentukan negara  adalah untuk menerapkan nilai keadilan di tiap kelas masyarakat dengan cara yang komprehensif. Keadilan yang dimaksud Plato adalah setiap individu, baik itu sahaya atau merdeka, pria atau wanita, pekerja atau pemerintah harus konsisten dengan pekerjaan dan profesi masing-masing.
Sebuah negara muncul dan berdiri karena kebutuhan, karena manusia perlu pertolongan orang lain, karena rakyat membutuhkan pemerintah dan pemerintah juga membutuhkan rakyat. Negara lahir karena manusia tak mampu memenuhi kebutuhannya sendirian. Ketika manusia tak mampu memenuhi semua kebutuhannya, maka perlu ada interaksi sosial. Ketika terjadi interaksi sosial maka akan terjadi gesekan-gesekan yang mengakibatkan distorsi hak dan kewajiban sehingga memerlukan wadah untuk menampung aspirasi dan terpenuhinya hak warga negara secara adil, dari sini jelaslah terlihat bahwa manusia membutuhkan negara.
Indonesia terus dirundung kegagalan karena kurangnya kapabilitas pemimpin, politisi dan rakyat, pengorganisasian kekuasaan negara, tidak baiknya sistem politik dan pemerintahan (Arbi Sanit ; 2005). Proses politik dan pemerintahan sama-sama berlangsung dengan mengandalkan kekuasaan. Proses politik dan pemerintahan saling berkaitan, dimana proses politik berfokus pada upaya memperoleh kekuasaan dan proses pemerintahan  berfokus pada upaya meraih dan memamfaatkan kekuasaan. Baik masyarakat maupun Negara, dalam proses politik dan pemerintahan saling terpaut pada fungsi dan peran partai politik, sama-sama terikat kepada suatu sistem kinerja kekuasaan untuk menghasilkan kebijakan publik.
Kita merasa bahwa kita telah sukses menjalankan demokrasi karena kita punya DPR dan ada presiden yang dipilih secara demokratis. Namun sayangnya demokrasi sepertinya menjadi tujuan utama negara ini. Kita memilih presiden hanya sekedar untuk memilih dan Indonesia tidak berubah, korupsi masih merajalela, hukum hanya menjadi mainan orang-orang yang berkuasa dan pemberantasan korupsi hanya slogan semata. Sistem tidak akan mengubah apapun karena orang didalamnya tidak mau melakukan apapun. Sistem politik boleh tetap sama namun orang harus berubah tetapi di Indonesia yang terjadi sebaliknya, sistem sudah berubah dari diktator menjadi demokrasi, namun orangnya tidak pernah berubah. Penguasa masih suka membuat kerajaan-kerajaan kecil di pemerintahan (kabupaten), para politikus menjadi penguasa negara, mereka tidak takut akan apapun, reformasi telah gagal merubah pola pikir pemimpin kita.
Penulis adalah Executif Director of North Aceh Peasants Community Union dan Student at Demokratic School of North Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar