Rabu, 15 April 2015

Dilema Pembangunan Aceh




Oleh : AA ABQA
Sebuah negara muncul dan berdiri karena kebutuhan, bukan keinginan segelintir orang seperti wacana ingin membentuk propinsi baru di Aceh agar bisa mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Tetapi negara didirikan karena manusia perlu pertolongan orang lain dan rakyat membutuhkan pemerintah. Jangan lupa, pemerintah juga perlu rakyat, kalau semua mau jadi pemimpin lalu siapa yang akan dipimpin?.
Ketika manusia tak mampu memenuhi semua kebutuhannya sendirian, maka perlu ada interaksi sosial. Ketika terjadi interaksi sosial maka akan terjadi gesekan-gesekan yang mengakibatkan distorsi hak dan kewajiban sehingga memerlukan wadah untuk menampung aspirasi masyarakat secara adil, dari sini jelaslah bahwa manusia membutuhkan sebuah negara. Negara adalah suatu wilayah dipermukaan bumi yang kekuasaannya diatur oleh pemerintah yang berada di wilayah tersebut. Syarat berdirinya sebuah negara haruslah memiliki rakyat, memiliki wilayah, punya pemerintahan yang berdaulat mendapat pengakuan dari negara lain, dalam negara tersebut ada sejumlah orang yang menerima keberadaan negara itu dan negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tersebut.
Tujuan pembentukan negara Indonesia, sebagaimana diinginkan para pendiri bangsa tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sedangkan menurut Plato, tujuan pembentukan negara adalah untuk menerapkan nilai keadilan ditiap kelas masyarakat dengan cara yang komprehensif. Keadilan yang dimaksud Plato adalah setiap individu, baik itu sahaya atau merdeka, pria atau wanita, pekerja atau pemerintah harus konsisten dengan pekerjaan dan profesi masing-masing.
Walaupun kondisi negara Indonesia saat ini tidak seburuk kondisi negara-negara terbelakang di Asia dan Afrika, namun jika kita bandingkan dengan kemajuan yang telah dicapai oleh Malaysia, Thailand, Taiwan dan Korea Selatan, kita sungguh ketinggalan walau sudah 69 tahun merdeka. Ada banyak permasalahan yang muncul di Indonesia termasuk Aceh sebagai bagian dari Indonesia, misalnya masalah lingkungan, perdebatan politik, pemilu, pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat, masalah kemiskinan, melonjaknya angka pengangguran, kegagalan dibidang ekonomi dan merosotnya pengembangan pendidikan walau jumlah anggaran untuk pendidikan di Aceh sudah ditambah sekian kali lipat.
Contoh lain, transportasi di Aceh maju pesat, dalam arti kenderaan dijalan raya terus bertambah, tetapi penataan dan pelayanan dijalan raya masih sangat kurang, jalan sempit, jalan semakin mengerikan bagi orang-orang yang melintas. Tidak menjaga kelestarian lingkungan dan polusi udara. Pembangunan bernuansa pasar modern telah meminggirkan pasar-pasar tradisional. Nyak-nyak penjual sayur di Banda Aceh, Lhokseumawe, pasar-pasar di kabupaten/ kota lainnya menjadi tergusur dan pembangunan kota tidak berpihak kepada warga mayoritas tetapi berpihak kepada kelompok kapitalis.
Masalah lain adalah kemiskinan. Kemiskinan adalah gabungan antara faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari kebijakan pembangunan yang keliru dan korupsi yang merajalela sehingga menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Faktor internal adalah keterbatasan wawasan, kurangnya keterampilan, kesehatan yang buruk, serta etos kerja yang rendah. Faktor internal muncul diakibatkan oleh faktor eksternal juga, misalnya, kesehatan buruk karena gizi rendah, gizi rendah karena pendapatan rendah, pendapatan rendah karena rendahnya pendidikan. rendahnya pendidikan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat dari keterbatasan lapangan kerja, berputar-putar disekitar itu-itu saja seperti lingkaran setan.
Di bidang pendidikan, pemerintah tidak berusaha meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi warganya. Biaya pendidikan mahal, banyak orang merasa lebih terpandang apabila sudah menjadi sarjana walaupun tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan yang nyata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan apalagi menciptakan pekerjaan baru yang bisa menampung pengangguran. Dunia pendidikan di Aceh tidak mencetak manusia siap pakai, sekolah-sekolah kejuruan kurang berkembang. Kita tidak memiliki cukup tenaga teknis yang tumbuh dari bawah, ironisnya lagi, kemiskinan yang dialami Aceh adalah ditengah-tengah melimpahnya sumberdaya alam yang tersedia. Dibidang pembangunan ekonomi, hingga saat ini rakyat Aceh belum sejahtera. Ekonomi pasar yang diterapkan pemerintah justru menghasilkan kesenjangan dan kemunduran. Salah satu sebab kegagalan ekonomi karena banyaknya ekonom pasar yang memfasilitasi para pemodal asing. Apa yang terjadi saat ini bukan saja pertarungan ideologi pemikiran antara ekonomi neoliberal produk AS melawan ekonomi konstitusi produk para founding father’s, tetapi sudah berada pada pertarungan kedaulatan (Revrisond Baswir).
Proses politik dan pemerintahan sama-sama berlangsung dengan mengandalkan kekuasaan dan uang, proses politik dan pemerintahan saling berkaitan dimana proses politik berfokus pada upaya memperoleh kekuasaan dan proses pemerintahan berfokus pada upaya pemamfaatan kekuasaan. Baik masyarakat maupun negara dalam proses politik dan pemerintahan saling terpaut pada fungsi dan peran institusi politik, sama-sama terikat kepada suatu sistem kinerja kekuasaan untuk menghasilkan kebijakan publik yang menguntungkan penguasa.
Kita merasa bahwa kita telah sukses menjalankan demokrasi karena kita sudah melaksanakan pemilu, karena ada banyak orang yang menganggap demokrasi hanyalah pemilu, padahal bukanlah demikian. Hanya dengan adanya DPRK, DPRA, gubernur, bupati dan walikota yang kita pilih, kita sudah merasa berhasil menjalankan sistem demokrasi. Itulah sayangnya sekarang demokrasi sepertinya sudah dijadikan tujuan, bukan lagi jalan menuju kesejahtraan rakyat. Kita memilih kepala pemerintahan hanya sekedar untuk memilih dan Aceh tidak berubah, korupsi masih merajalela, hukum hanya menjadi mainan orang-orang yang berkuasa dan pemberantasan korupsi hanya slogan semata. Sistem tidak akan mengubah apapun jika orang didalamnya tidak mau melakukan apapun. Sistem politik boleh tetap sama namun orang harus berubah. Tetapi yang terjadi di Aceh malah sebaliknya, sistem sudah berubah, namun orangnya tidak pernah berubah. Bupati masih suka membuat kerajaan-kerajaan kecil di pemerintahan, para politikus menjadi penguasa dengan melakukan banyak intervensi kepada pemerintah yang sedang menjabat. Eksekutif dan legislatif kita tidak takut akan apapun, reformasi telah gagal merubah pola pikir pemimpin kita. Wallahu ‘alam


Penulis adalah Sekretaris Badan Pengurus Perkumpulan SEPAKAT dan mantan Ketua Badan Pengurus Komunitas Demokrasi Aceh Utara

DILEMA DEMOKRASI ACEH


Oleh : AA. ABQA
Sampai saat ini, istilah demokrasi belum bisa diterima oleh semua orang di Aceh, terutama masyarakat awam dan santri-santri dari pesantren-pesantren tradisional. Menurut mereka Islam tidak menganut demokrasi dan Syura dalam Islam tidak sama dengan demokrasi. Pengertian Syura bukan permusyawaratan yang dapat mengikut sertakan semua orang tetapi anggota syura adalah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya dan mereka ditunjuk oleh penguasa bukan dipilih oleh masyarakat. Musyawarah hanya disyari’atkan untuk permasalahan-permasalahan yang tidak ada dalilnya, kebenaran tidak di ukur dengan jumlah yang menyuarakannya dan yang berhak menjadi anggota majelis syura hanyalah pemuka masyarakat dan ulama.
Kekurangan lain, dalam demokrasi ada istilah suara rakyat adalah suara Tuhan, maka akan menjadi masalah jika rakyat memilih pemimpin yang sesuai dengan seleranya. Preman mendukung preman, penjudi memilih penjudi dan rakyat yang hobby dangdut akan memilih pemimpin yang mau mendukung hobbynya. Karena pemilu ditentukan oleh suara terbanyak maka partai politik membuat program tong sampah, apa saja masuk, apa saja diadakan karena tujuan utama adalah suara, bukan lagi kualitas, sehingga banyak orang-orang yang tidak berkompeten terpilih.
Istilah demokrasi mengandung kontroversial dikalangan ulama tradisional Aceh karena istilah demokrasi dianggap sebagai produk impor, apalagi yang memperkenalkan demokrasi adalah tokoh-tokoh barat seperti dari Yunani, Prancis dan Amerika. Dalam tulisan ini, saya bukan ingin membawa argumentasi dari masing-masing pihak, baik yang pro maupun yang kontra dengan demokrasi. Yang kita perdebatkan bukan istilahnya tetapi prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya apakah bertentangan dengan agama atau tidak, khususnya agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Aceh. Selama ini perdebatan demokrasi terjebak pada aspek prosedural dengan mengabaikan aspek substansial. Kita sibuk bicara soal partai, pemilu dan calon legislatif sehingga kita melupakan esensi dari demokrasi yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Biasanya ada dua cara yang dilakukan oleh orang-orang yang katanya ingin menegakkan keadilan yaitu demokrasi atau ‘jihad’, kedua cara ini sama-sama mempunyai pengikut. Orang yang tidak percaya dengan demokrasi akan menempuh jalan ‘jihad’ walaupun bukan jihad dalam arti yang sesungguhnya, misalnya dengan mengusung slogan penegakan syar’at misalnya. Namun positifnya, di Aceh penegakan syariat tidak radikal dan tidak anarkis seperti yang terjadi di pulau Jawa.
Semakin modern manusia, semakin individualistik sifatnya karena masing-masing individu mementingkan diri sendiri. Sifat individual membuat orang berhenti berpikir soal kawan dan lawan, yang dipikirkan adalah resiko, siapa yang akan terkena dampak, bagaimana cara mengatasinya dan siapa yang melakukannya. Karena itulah manusia mau tidak mau harus berdialog dan satu-satunya sistem politik yang memungkinkan itu adalah demokrasi.
Lain halnya pandangan tokoh-tokoh Islam moderat, menurut mereka demokrasi adalah sistem yang bisa dimanfaatkan walau tidak luput dari kekurangan. Maklum saja, belum semua orang paham tentang demokrasi yang sesungguhnya. Tetapi membiarkan demokrasi berjalan tanpa keikutsertaan organisasi-organisasi massa Islam akan melahirkan mudharat yang lebih besar karena bagaimanapun kepercayaan masyarakat Aceh pada ormas Islam dan ulama masih diatas 70%, kepercayaan masyarakat Aceh kepada ulama biasanya hanya akan berkurang jika ulama tersebut terlibat politik praktis. Menurut tokoh Islam moderat, sistem demokrasi yang berlandaskan kepada suara terbanyak ada kesamaannya dengan sistem syura dalam Islam.
Negara yang dikehendaki oleh Islam adalah negara yang berlandaskan sipil bukan kaum agamawan (Yusuf Qardhawi). Negara yang ideal adalah yang dipimpin oleh sipil, demokratis, berlandaskan kebebasan, bisa memberikan hak kepada rakyat untuk mendirikan partai politik dan menerapkan pembagian kekuasaan atas YEL (Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif). Sistem pembagian kekuasaan seperti ini juga pernah diterapkan pada masa khalifah Umar bin Khattab.
Gusdur mengatakan ; “demokrasi timbul di negeri Indonesia dari agama, dari kepercayaan, bukan dari institusi-institusi lain”. Di saat-saat paling gelap dalam kehidupan bangsa ini, semua menyerah kepada kekuasaan pemerintah, di saat itu pula para pejuang hak asasi manusia dan pejuang demokrasi di negeri ini bersandar kepada agama-agama yang ada. (Kompas, 30/12/2000). Indonesia dibentuk berdasarkan semangat kebangsaan namun agama juga mendapat fasilitas yang memadai dari negara. Buktinya, maddrasah, dayah, meunasah, mesjid, pesantren dan kegiatan keagamaan lainnya memperoleh bantuan dari pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.

Kita harus memberi ruang gerak yang lebih besar kepada organisasi-organisasi keagamaan agar tetap konsisten membangun demokrasi di Aceh dan munculnya tokoh-tokoh agama dalam politik praktis kita harapkan akan semakin menumbuhkembangkan demokrasi. Semoga semua persoalan yang menghimpit Aceh seperti pertengkaran antar elit politik, perebutan kekuasaan, politik kepentingan, korupsi, kolusi dan pemasalahan sensitif lainnya seperti pendangkalan akidah dan pemurtadan akan segera dapat diatasi dengan kepala dingin mengingat para elit dan masyarakat Aceh semakin cerdas dan demokratis. Wallaahu a’lam.
Penulis adalah Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh (PERMATA) Banda Aceh

Senin, 06 Agustus 2012


Sejarah Singkat Komunitas Demokrasi
Komunitas Demokrasi Aceh Utara bahasa Inggris bernama North Aceh Democracy Community dan disingkat dengan KDAU didirikan oleh Alumni angkatan I (Pertama) peserta sekolah demokrasi Aceh Utara. Sekolah demokrasi merupakan program kerjasama antara KID (Komunitas Demokrasi untuk Indonesia) dengan LSM Sepakat. Para pendiri KDAU berasal dari 4 pilar demokrasi yaitu: 1, Masyarakat Sipil; 2, Birokrasi pemerintah; 3, Anggota partai politik dan 4, pelaku usaha ataupun bisnis yang selama tahun telah mendalami tentang demokrasi.

Latar belakang para pendiri ini menjadi KDAU beda dengan lembaga lain, dimana lahirnya KDAU diharapkan menjadi sebuah kelompok baru yang bisa mensinergiskan ke 4 pilar demokrasi tersebut. Inisiatif mendirikan Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU) adalah perwujudan dari tanggungjawab alumni Sekolah Demokrasi Aceh Utara untuk memperjuangkan kebebasan, kesetaraan, pluralisme, solidaritas dan keadilan.
KDAU didirikan untuk mendorong keterlibatan politisi, birokrasi, kelompok bisnis dan masyarakat sipil Aceh Utara untuk menggalang solidaritas dan mempercepat proses pemecahan masalah-masalah ekonomi, sosial, budaya dan sipil politik. Peran tersebut perlu dilakukan dengan baik, benar, penuh kesadaran dan tanggungjawab.

Perkumpulan ini didirikan di Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti pada tanggal 18 Desember 2011 untuk jangka waktu yang tidak terbatas, bagi pendiri KDAU yang sudah mendalami demokrasi dengan belajar selama 1 tahun selalu mengatakan “Mari kita berbuat untuk perbaikan demokrasi”

Jumat, 16 Desember 2011

BPK Temukan 44 Rekening Liar Pemda Aceh

PERMATA Post | Kamis, 15 Desember 2011
Banda Aceh – BPK telah berhasil menemukan sejumlah rekening misterius di jajaran Pemerintah Aceh, kini tugas inspektorat dan Dinas Pengelolaan dan Kekayaan Aceh (DPKKA) mencari tahu pemilik rekening tersebut. Rekening liar yang ditemukan itu mencapai Rp 12 Milyar yang mengagetkan banyak kalangan termasuk Gunernur Aceh, Irwandi Yusuf. Rekening itu terdiri dari 44 pemilik yang sampai saat ini masih misterius. Gubernur Aceh telah memerintahkan DPKKA untuk mencari tahu pemilik rekening tersebut. Dalam pengusutan ini juga perlu kerjasama dengan Bank Aceh dan Bank lainnya. Gubernur Aceh mengatakan, “sejak dirinya dilantik menjadi Gubernur Aceh, pada 8 Pebruari 2007, keinginan untuk membersihkan permainan rekening misterius di jajaran Pemerintah Aceh sudah dia sampaikan kepada BPK. tapi itu baru terungkap setelah tahun kelima dia memimpin Aceh, tapi tak apa, yang penting tekat untuk membersihkan rekening misterius sudah terungkap, kata Irwandi Yusuf.

Sementara menurut Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh, akibat banyaknya rekening liar, banyak anggaran daerah yang berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi karena sangat sulit dilakukan kontrol keluar masuk transaksi anggaran yang dibelanjakan. Menurut Gerak, ada 59 rekening liar milik Pemerintah Aceh dan SKPA, dengan rincian 15 rekening Kas Daerah dan 44 Rekening Operasional Kasda dan seluruh SKPA.

Protret Pendidikan Aceh Utara

Surat Kabar Independen Forum Indonesia Baru (FIB)
Lhokseumawe, 24/10/11.
Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Serikat Pengembang Swadaya Masyarakat (SEPAKAT) (8/10) menyelenggarakan talkshow radio dengan tema Potret Pendidikan di Aceh Utara. Acara ini dilaksanakan di LSM SEPAKAT Jalan Peutua Ali No.49 Tumpok Teungeh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe dan disiarkan secara langsung oleh RRI Pro 1 Lhokseumawe dari pulul 16.00-17.00 wib. Talkshow ini menghadirkan 6 orang nara sumber, masing-masing Bapak Khalidi (Kasi Penyusunan Program Dinas Pendidikan Aceh Utara dan Direktur KKB Finansial Lhokseumawe), Jefri Susetio, Salissufardi, Mustafa Kamal dan Muammar dari Sekolah Demokrasi Aceh Utara serta Ibu Milastri Muzakar dari Lembaga Indonesia Mengajar Jakarta.
Kasi Penyusunan Program Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Utara, Bapak Khalidi mengatakan : “ada kekhawatiran dari elemen sipil tentang pendidikan di Aceh Utara saat ini. Dalam menyelenggarakan pendidikan sebenarnya ada standar pelayanan minimal. Ada 27 indikator yang dinilai, 13 indikator di kabupaten dan 14 indikator di sekolah. Sekarang dalam perencanaan program bidang pendidikan juga lebih banyak menggunakan sistem dari bawah keatas. Tidak seperti dulu semua diatur dari atas kebawah, sekarang sistem dari bawah keatas lebih mendominasi. Walaupun sistem ini juga belum tentu bagus karena suara terbanyak tidak selamanya benar. Sedangkan yang menjadi kendala dalam memajukan pendidikan di Aceh Utara adalah ada perbedaaan persepsi dan pandangan tentang apa yang dipahami oleh Dinas Pendidikan dengan yang dipahami oleh masyarakat umum untuk memajukan pendidikan di Aceh utara”.
Kendala lain adalah pendidikan guru rendah. “Di Aceh Utara ada 12.000 orang guru tetapi hanya 2.000 orang yang berpendidikan S1. Masih banyak guru yang mengajar bukan berdasarkan latar belakang pendidikan dan keahliannya. Ada guru PPKN mengajar Bahasa Inggeris, bagaimana bisa? Sebenarnya, gurunya saja kalau kita tes Ujian Akhir Nasional (UAN) belum tentu lulus, bagaimana dengan muridnya?. Oleh karena itu, memperbaiki kualitas guru penting. Dalam memperbaiki kualitas guru perlu dukungan dari legislatif dan eksekutif. Kalau kita merujuk kepada standar pelayanan minimal, maka pendidikan di Aceh Utara banyak rapor merahnya. Menurut UU No.14 tahun 2005, pendidikan guru minimal S1, sedangkan kendala lain masih banyak guru yang berstatus honorer dan pegawai bakti” demikian kata Khalidi.
Sedangkan ibu Milastri Muzakkar dari Indonesia Mengajar mengatakan : “Tidak ada jaminan guru PNS kualitasnya lebih baik dari guru honorer dan guru bakti. Kesalahan lain dalam sistem pendidikan kita di Aceh Utara  adalah guru hanya bertanggungjawab didepan kelas saja. Setelah anak-anak pulang, apa yang dilakukan oleh murid diluar sekolah, guru tidak lagi bertanggungjawab”. “Seharusnya guru tetap membimbing muridnya walau diluar kelas sekalipun. Kualitas pendidikan di Aceh utara masih rendah, contohnya di SD 4 Langkahan, ada murid sudah kelas 5 tetapi belum pandai membaca dan menulis, kemampuannya masih setara murid kelas 2 SD” kata Milastri.
Sementara Direktur LSM SEPAKAT, Edi Fadhil mengatakan : “Aceh Utara merupakan salah satu kabupaten yang masih menghadapi tantangan besar dalam usaha memajukan pendidikan, misalnya kendala ketersediaan dan kualitas guru, sarana dan pra sarana sekolah yang masih minim, serta akses menuju sekolah yang masih terbatas. Banyaknya anggaran digelontorkan pemerintah untuk bidang pendidikan belum mampu mengangkat kualitas pendidikan di Aceh. Pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2011 misalnya, siswa Aceh menduduki peringkat terendah di Indonesia. Sedangkan di bidang IPS pada SNMPTN 2011 menduduki peringkat 25 di Indonesia. Fakta ini bertolak belakang dengan anggaran besar yang dimiliki Aceh saat ini”. @Amru Alba Abqa

Rabu, 14 Desember 2011

Indonesia Negara "gagal"?

Surat Kabar Independen Forum Indonesia Baru, 28 Nop 2011

Oleh : Amru Alba Abqa, S.Ap
Indonesia sudah merdeka 6 dekade, tepatnya 66 tahun pada 17 Agustus 2011 yang lalu. Tetapi jika kita bandingkan Indonesia dengan negara tetangga Malaysia yang belakangan merdeka, Korea Selatan, Taiwan dan Thailand, Indonesia jauh ketinggalan walau negeri kita ini tidak seburuk kondisi negara-negara terbelakang di Asia dan Afrika. Indonesia memenuhi berbagai ciri untuk kita katakan gagal. Misalnya, tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat secara layak (Stoddard ; 2000), tidak berhasil menanggulangi masalah dalam negeri dan tidak berdaya menepis tekanan luar negeri (Rotberg ; 2002), gagal menanggulangi permasalahan lingkungan dan politik (Diamond, Collaps ; 2005). Itu semua adalah ciri-ciri negara gagal secara fungsional.
Sedangkan secara eksistensial, Indonesia gagal karena tidak mampu menampilkan otoritas dan legitimasi kekuasaannya dihadapan berbagai kekuatan “gelap” seperti penyelundupan (barang dan manusia), perjudian, penjualan manusia, pelacuran, pencurian kayu dan hasil laut, korupsi, sampai terorisme (Arbi Sanit dalam Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia Transisional ; 2005). Pembangunan kota-kota besar di Indonesia sama sekali tidak memihak kepada rakyat kecil, tetapi berpihak kepada pengusaha dan konglomerat. Pusat-pusat bisnis dalam kota tidak menjaga kelestarian lingkungan, polusi udara, tidak ada tempat penampungan air sehingga banjir menjadi langganan dan bising. Jalanan didalam kota semberaut, kurang penataan, kurang pelayanan dari polisi lalu lintas dan masyarakat sudah tidak bisa menikmati keindahan alam yang asri.
Cara yang diterapkan untuk menanggulangi kemiskinan selalu keliru, korupsi merajalela sehingga uang rakyat bocor disana-sini sampai mendekati 50% dari total anggaran yang tersedia. Etos kerja aparat pemerintah juga rendah, pelayanan kesehatan buruk, kurang keterampilan aparatur pemerintah dan terbatasnya wawasan para wakil rakyat. Buruknya tingkat kesehatan masyarakat karena kurang gizi, masyarakat kurang gizi karena rendahnya pendapatan, pendapatan rendah karena rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan, pengetahuan rendah karena rendahnya pendidikan, pendidikan rendah karena kurang pendapatan, pendapatan kurang karena keterbatasan lapangan kerja, berputar-putar disekitar itu-itu saja seperti lingkaran setan.
Biaya pendidikan mahal, masyarakat kita hanya bangga dengan simbol, misalnya bangga apabila telah memiliki ijazah sarjana, padahal tidak punya kemampuan nyata dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Sekolah tidak menciptakan manusia siap pakai, sekolah kejuruan yang diharapkan menciptakan manusia siap pakai juga tidak berkembang. Kemiskinan juga disebabkan oleh sistem pendidkan yang salah. Meskipun sudah puluhan tahun membangun perekonomian dengan berpijak pada prinsip pasar tetapi masih saja pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak cenderung membaik. Buktinya hingga saat ini rakyat kita belum juga sejahtera. Ternyata ekonomi pasar justru menghasilkan kesengsaraan, kesenjangan, kemunduran, ketergantungan, dan kerentanan.
Akar masalah kegagalan ekonomi adalah banyaknya ekonom pasar yang memihak kepada pemilik modal, dalam hal ini pengusaha asing. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini bukan saja pertarungan ideologi ekonomi neoliberalisme melawan sistem ekonomi produk pendiri bangsa seperti Muhammad Hatta dengan koperasinya tetapi sudah berada pada pertarungan kedaulatan. Indonesia tidak bisa lagi mengatur perekonomiannya sendiri karena hampir semua sektor dikuasai pihak asing. Ekonomi pasar bebas telah menyebabkan kegagalan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Menurut Plato, tujuan pembentukan negara  adalah untuk menerapkan nilai keadilan di tiap kelas masyarakat dengan cara yang komprehensif. Keadilan yang dimaksud Plato adalah setiap individu, baik itu sahaya atau merdeka, pria atau wanita, pekerja atau pemerintah harus konsisten dengan pekerjaan dan profesi masing-masing.
Sebuah negara muncul dan berdiri karena kebutuhan, karena manusia perlu pertolongan orang lain, karena rakyat membutuhkan pemerintah dan pemerintah juga membutuhkan rakyat. Negara lahir karena manusia tak mampu memenuhi kebutuhannya sendirian. Ketika manusia tak mampu memenuhi semua kebutuhannya, maka perlu ada interaksi sosial. Ketika terjadi interaksi sosial maka akan terjadi gesekan-gesekan yang mengakibatkan distorsi hak dan kewajiban sehingga memerlukan wadah untuk menampung aspirasi dan terpenuhinya hak warga negara secara adil, dari sini jelaslah terlihat bahwa manusia membutuhkan negara.
Indonesia terus dirundung kegagalan karena kurangnya kapabilitas pemimpin, politisi dan rakyat, pengorganisasian kekuasaan negara, tidak baiknya sistem politik dan pemerintahan (Arbi Sanit ; 2005). Proses politik dan pemerintahan sama-sama berlangsung dengan mengandalkan kekuasaan. Proses politik dan pemerintahan saling berkaitan, dimana proses politik berfokus pada upaya memperoleh kekuasaan dan proses pemerintahan  berfokus pada upaya meraih dan memamfaatkan kekuasaan. Baik masyarakat maupun Negara, dalam proses politik dan pemerintahan saling terpaut pada fungsi dan peran partai politik, sama-sama terikat kepada suatu sistem kinerja kekuasaan untuk menghasilkan kebijakan publik.
Kita merasa bahwa kita telah sukses menjalankan demokrasi karena kita punya DPR dan ada presiden yang dipilih secara demokratis. Namun sayangnya demokrasi sepertinya menjadi tujuan utama negara ini. Kita memilih presiden hanya sekedar untuk memilih dan Indonesia tidak berubah, korupsi masih merajalela, hukum hanya menjadi mainan orang-orang yang berkuasa dan pemberantasan korupsi hanya slogan semata. Sistem tidak akan mengubah apapun karena orang didalamnya tidak mau melakukan apapun. Sistem politik boleh tetap sama namun orang harus berubah tetapi di Indonesia yang terjadi sebaliknya, sistem sudah berubah dari diktator menjadi demokrasi, namun orangnya tidak pernah berubah. Penguasa masih suka membuat kerajaan-kerajaan kecil di pemerintahan (kabupaten), para politikus menjadi penguasa negara, mereka tidak takut akan apapun, reformasi telah gagal merubah pola pikir pemimpin kita.
Penulis adalah Executif Director of North Aceh Peasants Community Union dan Student at Demokratic School of North Aceh.

Senin, 12 Desember 2011

Menghina Imam, Diusir

Surat Kabar Independen Forum Indonesia Baru, Aceh Utara.
Seorang penduduk dari Gampong Pulo Awe, Kecamatan Kuta Blang Bireuen, Jafar Daud diusir dari gampong Pulo Awe oleh Aparat Gampong (desa) karena menghina Imum Gampong (Imam Desa). Pengusiran salah seorang penduduk ini dilakukan oleh aparat gampong dengan persetujuan warga melalui Rapat Gampong yang dipimpin oleh Geusyik Gampong Pulo Awe, Zulkifli. Sebenarnya korban, Jafar Daud yang diusir itu masih ada hubungan famili dengan Geusyik Gampong (Kepala Desa).
Dilain pihak, korban pengusiran, Jafar Daud mengatakan “Saya diusir bukan karena menghina Imum Gampong (Imam Desa) tetapi karena saya mempertanyakan bantuan sebesar 110.000.000,- (seratus sepuluh juta) yang telah disalurkan ke Gampong Pulo Awe Kuta Blang”. Bantuan itu menurut Jafar Daud sudah diterima oleh Aparat Gampong Pulo Awe tetapi tidak disalurkan kepada kelompok ternak sebagai orang-orang yang berhak menerima bantuan tersebut. Jadi pengusiran dilakukan bukan karena dia menghina Imum Gampong. Pengusiran Jafar Daud dari Gampong Pulo Awe Kutablang ditandai dengan dikeluarkannya Surat Pengusiran Nomor : 84/PA/2011 tanggal 05 Oktober 2011 yang ditandatangani oleh Geushik Gampong (Kepala Desa) dan Tuha Peut (Dewan Perwakilan Desa) Pulo Awe Kuta Blang.
Sementara dilain pihak, Ketua “Kelompok Usaha Desa” Burhanuddin turut membela tindakan Aparat Desa dengan mengatakan : “Bantuan UEPG yang diterima Kelompok “Usaha Desa” sudah disalurkan kepada yang berhak menerima bantuan tersebut yaitu para peternak di Gampong Pulo Awe. Bantuan ini sudah disalurkan kepada 20 KK. Penyaluran bantuan yang sudah dilakukan adalah bantuan tahap pertama, sedangkan penyaluran tahap kedua menjadi macet karena para penerima tahap I belum mengembalikannya. Penyaluran bantuan tahap II hanya bisa dilakukan jika penerima tahap I sudah mengembalikanya karena bantuan ini menggunakan sistem bergulir. @ABQ