Rabu, 07 September 2011

Dilema Demokrasi Aceh

Oleh : Amru Alba Abqa
Opini di Harian Rakyat
Tanggal 11 July 2011 | 6 Komentar
Sampai saat ini, istilah demokrasi belum bisa diterima oleh semua orang di Aceh, terutama masyarakat awam dan santri-santri di pesantren-pesantren tradisional. Menurut mereka, Islam tidak menganut demokrasi dan Syura dalam Islam tidak sama dengan demokrasi.
Pengertian Syura bukan permusyawaratan yang dapat mengikutsertakan semua orang tetapi anggota syura adalah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya dan mereka ditunjuk oleh penguasa bukan dipilih oleh masyarakat. Musyawarah hanya disyariatkan untuk permasalahan-permasalahan yang tidak ada dalilnya, kebenaran tidak diukur dengan jumlah yang menyuarakannya dan yang berhak menjadi anggota majelis syura hanyalah pemuka masyarakat dan ulama.
Kekurangan lain, dalam demokrasi ada istilah suara rakyat adalah suara Tuhan, maka akan menjadi masalah jika rakyat memilih pemimpin yang sesuai dengan seleranya. Preman mendukung preman, penjudi memilih penjudi dan rakyat yang hobi dangdut akan memilih pemimpin yang mau mendukung hobinya. Karena pemilu ditentukan oleh suara terbanyak maka partai politik membuat program tong sampah, apa saja masuk, apa saja diadakan karena tujuan utama adalah suara, bukan lagi kualitas, sehingga banyak orang yang tidak berkompeten terpilih.
Istilah demokrasi mengandung kontroversial di kalangan ulama tradisional Aceh karena istilah demokrasi dianggap sebagai produk impor, apalagi yang memperkenalkan demokrasi adalah tokoh-tokoh barat seperti dari Yunani, Prancis dan Amerika. Dalam tulisan ini, saya bukan ingin membawa argumentasi dari masing-masing pihak, baik yang pro maupun yang kontra dengan demokrasi. Yang kita perdebatkan bukan istilahnya tetapi prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya apakah bertentangan dengan agama atau tidak, khususnya agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Aceh. Selama ini perdebatan demokrasi terjebak pada aspek prosedural dengan mengabaikan aspek substansial. Kita sibuk bicara soal partai, pemilu dan calon legislatif sehingga kita melupakan esensi dari demokrasi yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Biasanya ada dua cara yang dilakukan oleh orang-orang yang katanya ingin menegakkan keadilan yaitu demokrasi atau ‘jihad’, kedua cara ini sama-sama mempunyai pengikut. Orang yang tidak percaya dengan demokrasi akan menempuh jalan ‘jihad’ walaupun bukan jihad dalam arti yang sesungguhnya, misalnya dengan mengusung slogan penegakan syar’at misalnya. Namun positifnya, di Aceh penegakan syariat tidak radikal dan tidak anarkis seperti yang terjadi di pulau Jawa.
Semakin modern manusia, semakin individualistik sifatnya karena masing-masing individu mementingkan diri sendiri. Sifat individual membuat orang berhenti berpikir soal kawan dan lawan, yang dipikirkan adalah resiko, siapa yang akan terkena dampak, bagaimana cara mengatasinya dan siapa yang melakukannya. Karena itulah manusia mau tidak mau harus berdialog dan satu-satunya sistem politik yang memungkinkan itu adalah demokrasi.
Lain halnya pandangan tokoh-tokoh Islam moderat, menurut mereka demokrasi adalah sistem yang bisa dimanfaatkan walau tidak luput dari kekurangan. Maklum saja, belum semua orang paham tentang demokrasi yang sesungguhnya. Tetapi membiarkan demokrasi berjalan tanpa keikutsertaan organisasi-organisasi massa Islam akan melahirkan mudharat yang lebih besar karena bagaimanapun kepercayaan masyarakat Aceh pada ormas Islam dan ulama masih diatas 70%, kepercayaan masyarakat Aceh kepada ulama biasanya hanya akan berkurang jika ulama tersebut terlibat politik praktis. Menurut tokoh Islam moderat, sistem demokrasi yang berlandaskan kepada suara terbanyak ada kesamaannya dengan sistem syura dalam Islam.
Negara yang dikehendaki oleh Islam adalah negara yang berlandaskan sipil bukan kaum agamawan (Yusuf Qardhawi). Negara yang ideal adalah yang dipimpin oleh sipil, demokratis, berlandaskan kebebasan, bisa memberikan hak kepada rakyat untuk mendirikan partai politik dan menerapkan pembagian kekuasaan atas YEL (Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif). Sistem pembagian kekuasaan seperti ini juga pernah diterapkan pada masa khalifah Umar bin Khattab.
Gusdur mengatakan ; “demokrasi timbul di negeri Indonesia dari agama, dari kepercayaan, bukan dari institusi-institusi lain”. Di saat-saat paling gelap dalam kehidupan bangsa ini, semua menyerah kepada kekuasaan pemerintah, di saat itu pula para pejuang hak asasi manusia dan pejuang demokrasi di negeri ini bersandar kepada agama-agama yang ada. (Kompas, 30/12/2000). Indonesia dibentuk berdasarkan semangat kebangsaan namun agama juga mendapat fasilitas yang memadai dari negara. Buktinya, maddrasah, dayah, meunasah, mesjid, pesantren dan kegiatan keagamaan lainnya memperoleh bantuan dari pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.
Kita harus memberi ruang gerak yang lebih besar kepada organisasi-organisasi keagamaan agar tetap konsisten membangun demokrasi di Aceh dan munculnya tokoh-tokoh agama dalam politik praktis kita harapkan akan semakin menumbuhkembangkan demokrasi. Semoga semua persoalan yang menghimpit Aceh seperti pertengkaran antar elit politik, perebutan kekuasaan, politik kepentingan, korupsi, kolusi dan pemasalahan sensitif lainnya seperti pendangkalan akidah dan pemurtadan akan segera dapat diatasi dengan kepala dingin mengingat para elit dan masyarakat Aceh semakin cerdas dan demokratis. Wallaahu a’lam
*Penulis adalah Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara dan Ketua Presidium PERMATA ACEH Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar