Oleh : AA. ABQA
Sampai saat ini, istilah demokrasi
belum bisa diterima oleh semua orang di Aceh, terutama masyarakat awam dan
santri-santri dari pesantren-pesantren tradisional. Menurut mereka Islam tidak
menganut demokrasi dan Syura dalam Islam tidak sama dengan demokrasi.
Pengertian Syura bukan permusyawaratan yang dapat mengikut sertakan semua orang
tetapi anggota syura adalah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya dan mereka
ditunjuk oleh penguasa bukan dipilih oleh masyarakat. Musyawarah hanya
disyari’atkan untuk permasalahan-permasalahan yang tidak ada dalilnya,
kebenaran tidak di ukur dengan jumlah yang menyuarakannya dan yang berhak
menjadi anggota majelis syura hanyalah pemuka masyarakat dan ulama.
Kekurangan
lain, dalam demokrasi ada istilah suara rakyat adalah suara Tuhan, maka akan
menjadi masalah jika rakyat memilih pemimpin yang sesuai dengan seleranya.
Preman mendukung preman, penjudi memilih penjudi dan rakyat yang hobby dangdut
akan memilih pemimpin yang mau mendukung hobbynya. Karena pemilu ditentukan
oleh suara terbanyak maka partai politik membuat program tong sampah, apa saja
masuk, apa saja diadakan karena tujuan utama adalah suara, bukan lagi kualitas,
sehingga banyak orang-orang yang tidak berkompeten terpilih.
Istilah demokrasi mengandung kontroversial
dikalangan ulama tradisional Aceh karena istilah demokrasi dianggap sebagai
produk impor, apalagi yang memperkenalkan demokrasi adalah tokoh-tokoh barat
seperti dari Yunani, Prancis dan Amerika. Dalam tulisan ini, saya bukan ingin
membawa argumentasi dari masing-masing pihak, baik yang pro maupun yang kontra
dengan demokrasi. Yang kita perdebatkan bukan istilahnya tetapi prinsip-prinsip
yang terkandung didalamnya apakah bertentangan dengan agama atau tidak,
khususnya agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Aceh. Selama ini perdebatan
demokrasi terjebak pada aspek prosedural dengan mengabaikan aspek substansial.
Kita sibuk bicara soal partai, pemilu dan calon legislatif sehingga kita
melupakan esensi dari demokrasi yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Biasanya ada dua cara yang dilakukan oleh
orang-orang yang katanya ingin menegakkan keadilan yaitu demokrasi atau
‘jihad’, kedua cara ini sama-sama mempunyai pengikut. Orang yang tidak percaya
dengan demokrasi akan menempuh jalan ‘jihad’ walaupun bukan jihad dalam arti
yang sesungguhnya, misalnya dengan mengusung slogan penegakan syar’at misalnya.
Namun positifnya, di Aceh penegakan syariat tidak radikal dan tidak anarkis
seperti yang terjadi di pulau Jawa.
Semakin
modern manusia, semakin individualistik sifatnya karena masing-masing individu
mementingkan diri sendiri. Sifat individual membuat orang berhenti berpikir
soal kawan dan lawan, yang dipikirkan adalah resiko, siapa yang akan terkena
dampak, bagaimana cara mengatasinya dan siapa yang melakukannya. Karena itulah
manusia mau tidak mau harus berdialog dan satu-satunya sistem politik yang
memungkinkan itu adalah demokrasi.
Lain halnya pandangan tokoh-tokoh Islam
moderat, menurut mereka demokrasi adalah sistem yang bisa dimanfaatkan walau
tidak luput dari kekurangan. Maklum saja, belum semua orang paham tentang demokrasi
yang sesungguhnya. Tetapi membiarkan demokrasi berjalan tanpa keikutsertaan
organisasi-organisasi massa Islam akan melahirkan mudharat yang lebih besar
karena bagaimanapun kepercayaan masyarakat Aceh pada ormas Islam dan ulama
masih diatas 70%, kepercayaan masyarakat Aceh kepada ulama biasanya hanya akan
berkurang jika ulama tersebut terlibat politik praktis. Menurut tokoh Islam
moderat, sistem demokrasi yang berlandaskan kepada suara terbanyak ada
kesamaannya dengan sistem syura dalam Islam.
Negara yang dikehendaki oleh Islam adalah
negara yang berlandaskan sipil bukan kaum agamawan (Yusuf Qardhawi). Negara
yang ideal adalah yang dipimpin oleh sipil, demokratis, berlandaskan kebebasan,
bisa memberikan hak kepada rakyat untuk mendirikan partai politik dan
menerapkan pembagian kekuasaan atas YEL (Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif).
Sistem pembagian kekuasaan seperti ini juga pernah diterapkan pada masa
khalifah Umar bin Khattab.
Gusdur mengatakan ; “demokrasi timbul di negeri Indonesia
dari agama, dari kepercayaan, bukan dari institusi-institusi lain”. Di
saat-saat paling gelap dalam kehidupan bangsa ini, semua menyerah kepada
kekuasaan pemerintah, di saat itu pula para pejuang hak asasi manusia dan
pejuang demokrasi di negeri ini bersandar kepada agama-agama yang ada. (Kompas,
30/12/2000). Indonesia dibentuk berdasarkan semangat kebangsaan namun agama
juga mendapat fasilitas yang memadai dari negara. Buktinya, maddrasah, dayah,
meunasah, mesjid, pesantren dan kegiatan keagamaan lainnya memperoleh bantuan
dari pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.
Kita harus memberi ruang gerak yang lebih besar kepada
organisasi-organisasi keagamaan agar tetap konsisten membangun demokrasi di
Aceh dan munculnya tokoh-tokoh agama dalam politik praktis kita harapkan akan semakin
menumbuhkembangkan demokrasi. Semoga semua persoalan yang menghimpit Aceh
seperti pertengkaran antar elit politik, perebutan kekuasaan, politik
kepentingan, korupsi, kolusi dan pemasalahan sensitif lainnya seperti
pendangkalan akidah dan pemurtadan akan segera dapat diatasi dengan kepala
dingin mengingat para elit dan masyarakat Aceh semakin cerdas dan demokratis.
Wallaahu a’lam.
Penulis adalah Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh (PERMATA) Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar