Rabu, 15 April 2015

Dilema Pembangunan Aceh




Oleh : AA ABQA
Sebuah negara muncul dan berdiri karena kebutuhan, bukan keinginan segelintir orang seperti wacana ingin membentuk propinsi baru di Aceh agar bisa mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Tetapi negara didirikan karena manusia perlu pertolongan orang lain dan rakyat membutuhkan pemerintah. Jangan lupa, pemerintah juga perlu rakyat, kalau semua mau jadi pemimpin lalu siapa yang akan dipimpin?.
Ketika manusia tak mampu memenuhi semua kebutuhannya sendirian, maka perlu ada interaksi sosial. Ketika terjadi interaksi sosial maka akan terjadi gesekan-gesekan yang mengakibatkan distorsi hak dan kewajiban sehingga memerlukan wadah untuk menampung aspirasi masyarakat secara adil, dari sini jelaslah bahwa manusia membutuhkan sebuah negara. Negara adalah suatu wilayah dipermukaan bumi yang kekuasaannya diatur oleh pemerintah yang berada di wilayah tersebut. Syarat berdirinya sebuah negara haruslah memiliki rakyat, memiliki wilayah, punya pemerintahan yang berdaulat mendapat pengakuan dari negara lain, dalam negara tersebut ada sejumlah orang yang menerima keberadaan negara itu dan negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tersebut.
Tujuan pembentukan negara Indonesia, sebagaimana diinginkan para pendiri bangsa tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sedangkan menurut Plato, tujuan pembentukan negara adalah untuk menerapkan nilai keadilan ditiap kelas masyarakat dengan cara yang komprehensif. Keadilan yang dimaksud Plato adalah setiap individu, baik itu sahaya atau merdeka, pria atau wanita, pekerja atau pemerintah harus konsisten dengan pekerjaan dan profesi masing-masing.
Walaupun kondisi negara Indonesia saat ini tidak seburuk kondisi negara-negara terbelakang di Asia dan Afrika, namun jika kita bandingkan dengan kemajuan yang telah dicapai oleh Malaysia, Thailand, Taiwan dan Korea Selatan, kita sungguh ketinggalan walau sudah 69 tahun merdeka. Ada banyak permasalahan yang muncul di Indonesia termasuk Aceh sebagai bagian dari Indonesia, misalnya masalah lingkungan, perdebatan politik, pemilu, pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat, masalah kemiskinan, melonjaknya angka pengangguran, kegagalan dibidang ekonomi dan merosotnya pengembangan pendidikan walau jumlah anggaran untuk pendidikan di Aceh sudah ditambah sekian kali lipat.
Contoh lain, transportasi di Aceh maju pesat, dalam arti kenderaan dijalan raya terus bertambah, tetapi penataan dan pelayanan dijalan raya masih sangat kurang, jalan sempit, jalan semakin mengerikan bagi orang-orang yang melintas. Tidak menjaga kelestarian lingkungan dan polusi udara. Pembangunan bernuansa pasar modern telah meminggirkan pasar-pasar tradisional. Nyak-nyak penjual sayur di Banda Aceh, Lhokseumawe, pasar-pasar di kabupaten/ kota lainnya menjadi tergusur dan pembangunan kota tidak berpihak kepada warga mayoritas tetapi berpihak kepada kelompok kapitalis.
Masalah lain adalah kemiskinan. Kemiskinan adalah gabungan antara faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari kebijakan pembangunan yang keliru dan korupsi yang merajalela sehingga menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Faktor internal adalah keterbatasan wawasan, kurangnya keterampilan, kesehatan yang buruk, serta etos kerja yang rendah. Faktor internal muncul diakibatkan oleh faktor eksternal juga, misalnya, kesehatan buruk karena gizi rendah, gizi rendah karena pendapatan rendah, pendapatan rendah karena rendahnya pendidikan. rendahnya pendidikan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat dari keterbatasan lapangan kerja, berputar-putar disekitar itu-itu saja seperti lingkaran setan.
Di bidang pendidikan, pemerintah tidak berusaha meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi warganya. Biaya pendidikan mahal, banyak orang merasa lebih terpandang apabila sudah menjadi sarjana walaupun tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan yang nyata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan apalagi menciptakan pekerjaan baru yang bisa menampung pengangguran. Dunia pendidikan di Aceh tidak mencetak manusia siap pakai, sekolah-sekolah kejuruan kurang berkembang. Kita tidak memiliki cukup tenaga teknis yang tumbuh dari bawah, ironisnya lagi, kemiskinan yang dialami Aceh adalah ditengah-tengah melimpahnya sumberdaya alam yang tersedia. Dibidang pembangunan ekonomi, hingga saat ini rakyat Aceh belum sejahtera. Ekonomi pasar yang diterapkan pemerintah justru menghasilkan kesenjangan dan kemunduran. Salah satu sebab kegagalan ekonomi karena banyaknya ekonom pasar yang memfasilitasi para pemodal asing. Apa yang terjadi saat ini bukan saja pertarungan ideologi pemikiran antara ekonomi neoliberal produk AS melawan ekonomi konstitusi produk para founding father’s, tetapi sudah berada pada pertarungan kedaulatan (Revrisond Baswir).
Proses politik dan pemerintahan sama-sama berlangsung dengan mengandalkan kekuasaan dan uang, proses politik dan pemerintahan saling berkaitan dimana proses politik berfokus pada upaya memperoleh kekuasaan dan proses pemerintahan berfokus pada upaya pemamfaatan kekuasaan. Baik masyarakat maupun negara dalam proses politik dan pemerintahan saling terpaut pada fungsi dan peran institusi politik, sama-sama terikat kepada suatu sistem kinerja kekuasaan untuk menghasilkan kebijakan publik yang menguntungkan penguasa.
Kita merasa bahwa kita telah sukses menjalankan demokrasi karena kita sudah melaksanakan pemilu, karena ada banyak orang yang menganggap demokrasi hanyalah pemilu, padahal bukanlah demikian. Hanya dengan adanya DPRK, DPRA, gubernur, bupati dan walikota yang kita pilih, kita sudah merasa berhasil menjalankan sistem demokrasi. Itulah sayangnya sekarang demokrasi sepertinya sudah dijadikan tujuan, bukan lagi jalan menuju kesejahtraan rakyat. Kita memilih kepala pemerintahan hanya sekedar untuk memilih dan Aceh tidak berubah, korupsi masih merajalela, hukum hanya menjadi mainan orang-orang yang berkuasa dan pemberantasan korupsi hanya slogan semata. Sistem tidak akan mengubah apapun jika orang didalamnya tidak mau melakukan apapun. Sistem politik boleh tetap sama namun orang harus berubah. Tetapi yang terjadi di Aceh malah sebaliknya, sistem sudah berubah, namun orangnya tidak pernah berubah. Bupati masih suka membuat kerajaan-kerajaan kecil di pemerintahan, para politikus menjadi penguasa dengan melakukan banyak intervensi kepada pemerintah yang sedang menjabat. Eksekutif dan legislatif kita tidak takut akan apapun, reformasi telah gagal merubah pola pikir pemimpin kita. Wallahu ‘alam


Penulis adalah Sekretaris Badan Pengurus Perkumpulan SEPAKAT dan mantan Ketua Badan Pengurus Komunitas Demokrasi Aceh Utara

DILEMA DEMOKRASI ACEH


Oleh : AA. ABQA
Sampai saat ini, istilah demokrasi belum bisa diterima oleh semua orang di Aceh, terutama masyarakat awam dan santri-santri dari pesantren-pesantren tradisional. Menurut mereka Islam tidak menganut demokrasi dan Syura dalam Islam tidak sama dengan demokrasi. Pengertian Syura bukan permusyawaratan yang dapat mengikut sertakan semua orang tetapi anggota syura adalah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya dan mereka ditunjuk oleh penguasa bukan dipilih oleh masyarakat. Musyawarah hanya disyari’atkan untuk permasalahan-permasalahan yang tidak ada dalilnya, kebenaran tidak di ukur dengan jumlah yang menyuarakannya dan yang berhak menjadi anggota majelis syura hanyalah pemuka masyarakat dan ulama.
Kekurangan lain, dalam demokrasi ada istilah suara rakyat adalah suara Tuhan, maka akan menjadi masalah jika rakyat memilih pemimpin yang sesuai dengan seleranya. Preman mendukung preman, penjudi memilih penjudi dan rakyat yang hobby dangdut akan memilih pemimpin yang mau mendukung hobbynya. Karena pemilu ditentukan oleh suara terbanyak maka partai politik membuat program tong sampah, apa saja masuk, apa saja diadakan karena tujuan utama adalah suara, bukan lagi kualitas, sehingga banyak orang-orang yang tidak berkompeten terpilih.
Istilah demokrasi mengandung kontroversial dikalangan ulama tradisional Aceh karena istilah demokrasi dianggap sebagai produk impor, apalagi yang memperkenalkan demokrasi adalah tokoh-tokoh barat seperti dari Yunani, Prancis dan Amerika. Dalam tulisan ini, saya bukan ingin membawa argumentasi dari masing-masing pihak, baik yang pro maupun yang kontra dengan demokrasi. Yang kita perdebatkan bukan istilahnya tetapi prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya apakah bertentangan dengan agama atau tidak, khususnya agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Aceh. Selama ini perdebatan demokrasi terjebak pada aspek prosedural dengan mengabaikan aspek substansial. Kita sibuk bicara soal partai, pemilu dan calon legislatif sehingga kita melupakan esensi dari demokrasi yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Biasanya ada dua cara yang dilakukan oleh orang-orang yang katanya ingin menegakkan keadilan yaitu demokrasi atau ‘jihad’, kedua cara ini sama-sama mempunyai pengikut. Orang yang tidak percaya dengan demokrasi akan menempuh jalan ‘jihad’ walaupun bukan jihad dalam arti yang sesungguhnya, misalnya dengan mengusung slogan penegakan syar’at misalnya. Namun positifnya, di Aceh penegakan syariat tidak radikal dan tidak anarkis seperti yang terjadi di pulau Jawa.
Semakin modern manusia, semakin individualistik sifatnya karena masing-masing individu mementingkan diri sendiri. Sifat individual membuat orang berhenti berpikir soal kawan dan lawan, yang dipikirkan adalah resiko, siapa yang akan terkena dampak, bagaimana cara mengatasinya dan siapa yang melakukannya. Karena itulah manusia mau tidak mau harus berdialog dan satu-satunya sistem politik yang memungkinkan itu adalah demokrasi.
Lain halnya pandangan tokoh-tokoh Islam moderat, menurut mereka demokrasi adalah sistem yang bisa dimanfaatkan walau tidak luput dari kekurangan. Maklum saja, belum semua orang paham tentang demokrasi yang sesungguhnya. Tetapi membiarkan demokrasi berjalan tanpa keikutsertaan organisasi-organisasi massa Islam akan melahirkan mudharat yang lebih besar karena bagaimanapun kepercayaan masyarakat Aceh pada ormas Islam dan ulama masih diatas 70%, kepercayaan masyarakat Aceh kepada ulama biasanya hanya akan berkurang jika ulama tersebut terlibat politik praktis. Menurut tokoh Islam moderat, sistem demokrasi yang berlandaskan kepada suara terbanyak ada kesamaannya dengan sistem syura dalam Islam.
Negara yang dikehendaki oleh Islam adalah negara yang berlandaskan sipil bukan kaum agamawan (Yusuf Qardhawi). Negara yang ideal adalah yang dipimpin oleh sipil, demokratis, berlandaskan kebebasan, bisa memberikan hak kepada rakyat untuk mendirikan partai politik dan menerapkan pembagian kekuasaan atas YEL (Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif). Sistem pembagian kekuasaan seperti ini juga pernah diterapkan pada masa khalifah Umar bin Khattab.
Gusdur mengatakan ; “demokrasi timbul di negeri Indonesia dari agama, dari kepercayaan, bukan dari institusi-institusi lain”. Di saat-saat paling gelap dalam kehidupan bangsa ini, semua menyerah kepada kekuasaan pemerintah, di saat itu pula para pejuang hak asasi manusia dan pejuang demokrasi di negeri ini bersandar kepada agama-agama yang ada. (Kompas, 30/12/2000). Indonesia dibentuk berdasarkan semangat kebangsaan namun agama juga mendapat fasilitas yang memadai dari negara. Buktinya, maddrasah, dayah, meunasah, mesjid, pesantren dan kegiatan keagamaan lainnya memperoleh bantuan dari pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.

Kita harus memberi ruang gerak yang lebih besar kepada organisasi-organisasi keagamaan agar tetap konsisten membangun demokrasi di Aceh dan munculnya tokoh-tokoh agama dalam politik praktis kita harapkan akan semakin menumbuhkembangkan demokrasi. Semoga semua persoalan yang menghimpit Aceh seperti pertengkaran antar elit politik, perebutan kekuasaan, politik kepentingan, korupsi, kolusi dan pemasalahan sensitif lainnya seperti pendangkalan akidah dan pemurtadan akan segera dapat diatasi dengan kepala dingin mengingat para elit dan masyarakat Aceh semakin cerdas dan demokratis. Wallaahu a’lam.
Penulis adalah Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh (PERMATA) Banda Aceh