Sabtu, 10 September 2011

Nuruddin Hady ; PELANGGARAN-PELANGGARAN PILKADA

PELANGGARAN-PELANGGARAN PILKADA & PEMBATALAN PASANGAN CALON KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH TERPILIH

Nuruddin Hady

Pendahuluan
Kebijakan Otonomi : Refleksi Era Transisi menuju Demokrasi

               Seiring dengan era transisi dari otoritarianisme menuju proses demokratisasi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di indonesia, yang kemudian diikuti dengan hadirnya kebijakan otonomi daerah, maka sebenarnya kita dapat melihat minimal ada 3 (tiga) Perubahan Paradigma otonomi daerah, yaitu;
               Pertama, Perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan. Dalam perspektif ini, di masa “Orde Baru” misalnya, Otonomi Daerah tidak lebih dari sekedar penyerahan kewenangan oleh Pusat kepada daerah dalam konteks administratif belaka, sedangkan saat ini, konsep Otonomi mencakup wilayah kewenangan yang lebih luas dan nyata, dimana Pemerintah daerah berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat. Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang, (i). Politik luar negeri, (ii). Pertahanan, (iii), keamanan, (iv). Yustisi / Peradilan, (v). Moneter dan fiskal nasional, dan (vi). Agama.1
               Kedua, perubahan paradigma dari manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egalitarian dan demokrasi. Di masa Orde Baru misalnya, kebijakan otonomi daerah diletakkan dalam kerangka otoritarianisme kekuasaan, kebijakan yang top down dan sentralisasi pembangunan, sehingga daerah hanya dieksploitasi sumber daya alamnya saja --- daerah menjadi “sapi perahan” oleh pemerintah pusat tanpa diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Sedangkan saat ini otonomi daerah berada dalam kerangka demokratisasi serta sentralisasi pembangunan, dimana daerah diberi kewenangan untuk mengurus daerahnya sendiri. Meskipun dalam realitas empirik, implementasi otonomi daerah yang sudah berjalan kurang lebih 11 (sebelas) tahun ini belum dirasakan dampaknya bagi masyarakat luas terutama untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah.
Terdapat gejala yang sulit dibantah bahwa otonomi daerah lebih dimaknai sebagai semata-mata kekuasaan pemerintah daerah untuk mengatur pemerintahan sendiri tanpa diikuti dengan visi pemerintahan yang menyejahterakan seluruh rakyat. Otonomi daerah telah didistorsi menjadi otonomi pemerintahan daerah semata, karena partisipasi rakyat masih belum dapat mengakses titik-titik strategis pengambilan keputusan di daerah. Pasca reformasi disadari atau tidak telah terjadi paradoks demokrasi. Terdapat pemahaman demokrasi yang lebih bersifat prosedural semata dan menghilangkan makna demokrasi yang lebih substantif. Padahal dalam konteks pembangunan demokrasi, segenap aktor demokrasi mesti memiliki persepsi dan pemahaman yang sama, bahwa locus demokrasi bukan lagi hanya di gedung dewan perwakilan rakyat (DPRD), namun juga terdapat di basis massa rakyat. 
            Anggota dewan perwakilan di daerah cenderungan berpikir bahwa setelah mereka duduk di lembaga perwakilan itu, maka dirinya telah sepenuhnya merepresentasikan masyarakat yang telah memilihnya. Di sisi lain pihak pemerintah daerah yang menjalankan kekuasaan eksekutif  cenderungan merasa lebih mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan pemahaman itu maka baik wakil rakyat yang duduk di DPRD maupun pemerintah daerah tidak menjadikan partisipasi rakyat sebagai rujukan utama dalam pelaksanaan otonomi daerah, tetapi hanya dijadikan justifikasi dan legitimasi dalam setiap kebijakan yang diambilnya, bahkan seringkali kebijakan yang diambil tidak sejalan dengan suara konstituen. Sehingga forum-forum jaring aspirasi masyarakat (jaring asmara) yang dilakukan oleh DPRD maupun melalui forum musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) yang dilakukan oleh eksekutif mulai dari tingkat kelurahan/desa, tingkat kecamatan maupun sampai tingkat kabupaten/kota, hanya sekedar formalitas belaka.
              Ketiga, paradigma dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan secara langsung. Dalam konteks ini dimasa lalu pemilihan kepala daerah dengan menggunakan sistem perwakilan, dimana kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD yang merupakan representasi dari rakyat didaerah yang dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan sekarang ini kepala daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerahnya. Artikel ini akan difokuskan pada perubahan paradigma yang ketiga, khususnya terkait dengan tindaklanjut dari pelangagran-pelanggaran Pilkda dan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala daerah secara langsung oleh Mahkamah Konstitusi.




Pembahasan
Pilkada Langsung : Eksperimentasi Demokrasi Lokal

Pasca amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyebutkan; Gubernur, Bupati dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Rumusan “dipilih secara demokratis” dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 inilah yang kemudian ditafsirkan oleh Pemerintah dan DPR, menjadi “dipilih secara langsung”. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,2 yang menentukan, bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih dalam suatu pasangan calon yang dilakukan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sehingga pemilihan kepala daerah kemudian dikategorikan juga masuk dalam ranah hukum Pemilu, terlebih lagi setelah terbitnya Undang-undang No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan umum, yang kemudian diikuti dengan lahirnya Undang-undang No. 12 tahun 2008, tentang perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, yang salah satunya adalah pengalihan penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung (MA) yang dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). 3  
            Apabila kita cermati betul ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945  ini, maka sejatinya konstitusi kita juga tidak mengamanatkan Pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, karena hal tersebut hanyalah sekedar sebuah tafsir saja terhadap rumusan “dipilih secara demokratis” yang dilakukan oleh pembentuk Undang-undang, menjadi “dipilih secara langsung”.4 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie,5 pengertian “dipilih secara demokratis” bersifat luwes, sehingga dalam pengaturan selanjutnya bisa dipilih secara langsung atau tetap dipilih oleh DPRD sebagaimana praktek sebelumnya.
              Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung pada hakekatnya dianggap sebagai bentuk perwujudan praktek demokrasi yang paling sempurna, karena dengan pemilihan kepala daerah secara langsung ini diharapkan mampu memunculkan calon-calon pemimpin yang dikenal dan lebih dekat dengan masyarakat. Secara teoritis tentu Pilkada langsung memberikan ruang yang sangat luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam menentukan pejabat publik di daerahnya masing-masing. Namun demikian berdasarkan realitas empirik penyelenggaraan Pilkada secara langsung yang sudah berjalan sejak bulan juni tahun 2005 sampai dengan desember tahun 2008 yang sudah berlangsung di 347 daerah, ada beberapa persoalan mendasar yang perlu dikaji lebih lanjut, mengingat Pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah secara langsung dibeberapa daerah masih diwarnai dengan konflik politik, anarkisme massa, serta masih terjadi berbagai bentuk kecurangan --- mulai dari ‘sembako politik’, politik uang (money politics), tidak netralnya penyelenggara Pemilu maupun mobilisasi aparat birokrasi untuk memenangkan pasangan calon tertentu, meskipun kasus-kasus tersebut sangat sulit dibuktikan namun aromanya begitu terasa, sehingga persoalan-persoalan tersebut menjadi kontraproduktif bagi perjuangan nilai-nilai demokrasi yang hendak ditegakkan. 6
               Selain itu persoalan yang tidak kalah urgen untuk kita kaji dan direnungkan bersama adalah begitu besarnya beban biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perhelatan pesta demokrasi lokal tersebut, baik anggaran yang dikeluarkan dan diambil dari dana APBD Provinsi/Kabupaten/Kota maupun anggaran yang harus dikeluarkan oleh masing-masing Pasangan calon yang akan bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah,7 dan anggaran yang telah dikeluarkan begitu besar tersebut tidak sebanding dengan harapan untuk lebih mensejahterakan masyarakat di daerah. Oleh karena itu tidak salah kalau ada beberapa tokoh masyarakat yang mengusulkan agar Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan saja seperti aturan semula yaitu cukup dipilih melalui proses di DPRD Provinsi dan atau Kabupaten/kota.8 Meskipun wacana penghapusan Pilkada langsung tersebut ada yang merespon dengan sinis dan khawatir, bahkan ada yang berargumentasi hal itu akan berimplikasi pada kemunduran demokrasi yang sudah susah payah dibangun dan diperjuangkan.
              Mengingat pemilihan kepala daerah di era sebelumnya, dimana ketika Kepala daerah dipilih oleh DPRD, bukan berarti tanpa masalah, bahkan selama kurun waktu transisi (1998-2002) terjadi kurang lebih 6 (enam) kasus pemilihan Gubernur yang bermasalah dan 10 (sepuluh) kasus pemilihan Bupati dan walikota di seluruh Indonesia yang menyebabkan terjadinya konflik politik. Secara umum kasus-kasus tersebut meliputi; (i). terjadi perbedaan penafsiran dari segi hukum atas hasil pemilihan, (ii). adanya kelompok pendukung yang tidak menerima hasil pemilihan sehingga menimbulkan protes, (iii). hasil pemilihan dianggap cacat hukum, (iv). adanya issue politik uang (money politics), dan (v). penolakan hasil pemilihan karena calon jadi diduga korupsi.9        
              Oleh karena itu sudah barang tentu perlunya kajian dan evaluasi atas pelaksanaan Pemilihan Kepala Derah (Pilkada) secara langsung menjadi sebuah keniscaya, apalagi pada tahun 2010 ini juga akan digelar Pilkada dibeberapa daerah. Namun demikian, terlepas dari berbagai kelemahan dari pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, beberapa persoalan yang tidak kalah penting dari semuanya itu yang hendak dijawab dalam artikel ini adalah; (1). Bagaimanakah tindaklanjut dari terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan Pilkada tersebut, (2). Apakah pelanggaran-pelangaran tersebut dapat membatalkan pasangan calon kepala daerah terpilih, (3). Bagaimana dengaan penyelesaian sengketa hasil Pilkada di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK).

Pelanggaran  Pilkada & Implikasinya

Secara garis besar pelanggaran-pelangaran dalam setiap tahapan pelaksanaan Pemilihan kepala daerah secara langsung dapat diklasifikasikan  menjadi 2 (dua) pelanggaran,10 yaitu; (i). Pelanggaran administratif, dan (ii). Pelanggaran Pidana. Meskipun dalam ketentuan undang-undang No. 32 tahun 2004, maupun dalam undang-undang No.12 tahun 2008, tentang Pemerintahan daerah yang dijadikan dasar pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, adakalanya pelanggaran yang terjadi merupakan pelanggaran administratif saja, tetapi ada juga pelanggaran tersebut selain merupakan pelanggaran administratif,  juga merupakan pelanggaran pidana.11
Pelanggaran administratif adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan, tata cara, dan persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pemilihan Kepala daerah,12 yang tidak didefinisikan sebagai tindakan kriminal dan tidak berkaitan dengan hukuman dan atau denda. Konsekwensi dari pelanggaran administratif ini adalah gagalnya pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk mengikuti sebagian tahapan Pilkada dan atau gagalnya pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk mengikuti tahapan pilkada, karena tidak  memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004, dan UU No. 12 tahun 2008, tentang pemerintahan daerah. Selain itu, apabila pelanggaran administratif ini yang berkaitan dengan pelanggaran tata cara kampanye, maka dapat dikenai sanksi oleh KPU daerah yang berupa; (i). Peringatan tertulis, apabila penyelenggara kampanye melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan, (ii). Penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau diseluruh daerah pemilihan yang bersangkutan, apabila terjadi gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain.
Sedangkan pelanggaran Pidana adalah tindakan-tindakan yang oleh undang-undang Pemilihan kepala daerah ditetapkan sebagai tindakan kriminal dan berakibat pada hukuman penjara dan atau denda. Ketentuan pidana pilkada ini dapat dilihat lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 115 sampai dengan Pasal 119 Undang-undang No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan daerah, dimana pasal-pasal tersebut ancaman pidananya paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) tahun serta penjatuhan denda paling sedikit  Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) tergantung dari tindakan pelanggaran yang dilakukan.13
Secara teoritik apabila pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran administratif, maka Panwaslu merekomendasikan kasus tersebut ke KPU daerah, sedangkan untuk pelanggaran yang mengandung unsur pidana, maka Panwaslu merekomendasikan atau meneruskan kasus tersebut ke penyidik kepolisian. Namun demikian, terdapat kelemahan dalam penyelesaian atau pemberian sangsi administratif yang merupakan kewenangan KPU daerah tersebut, dimana seringkali pemberian sangsi dilakukan ketika tahapan sudah berjalan, sehingga sangsi tersebut seolah-olah menjadi  tidak bermakna dan tidak berimplikasi apapun. Hal ini akan sangat berbahaya, apabila pelanggaran administratif tersebut menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, akan tetapi hal tersebut baru diketahui setelah tahapan selesai, tentu saja hal ini akan rawan terjadinya gugatan hukum dikemudian hari, terutama mempertanyakan keabsahan Pilkada apabila pasangan calon yang memenangkan Pilkada tersebut justru yang tidak memenuhi syarat seperti yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Sedangkan kelemahan penyelesaian pelanggaran-pelanggaran Pidana yang ditangani oleh Panwaslu adalah pelanggaran tersebut seringkali telah melampau waktu yang telah ditentukan, dimana Panitia pengawas pemilihan memutuskan untuk menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti laporan atau temuan pelanggaran selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah laporan tersebut diterima atau pelanggaran tersebut ditemukan. Dalam hal panitia pengawas pemilihan memerlukan keterangan tambahan dari pelapor untuk melengkapi laporan putusan sebagaimana dimaksud dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah laporan diterima. Karena Panwaslu tidak diberikan hak memaksa untuk menghadirkan pihak-pihak yang terkait dengan pelanggaran yang disangkakan untuk dimintai klarifikasi, maka seringkali kasus-kasus pelangaran Pilkada yang mengandung unsur pidana berlarut-larut penanganannya, mengingat hanya pihak penyidiklah yang mempunyai hak memaksa untuk menghadirkan saksi.14 Padahal, ada beberapaa pelanggaran-pelangaran pidana Pilkada apabila ditindaklanjuti dan terbukti di pengadilan serta sudah memiliki kekuatan hukum mengikat, maka dapat membatalkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah terpilih.

Pembatalan Pasangan Calon  Kepala Daerah Terpilih

Pasangan calon Kepala daerah dan Wakil kepala daerah yang terpilih dalam pelaksanaan Pilkada secara langsung dimungkinkan secara yuridis berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, dapat dibatalkan sebagai pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan pasangan calon Kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dapat dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah terpilih.
Pertama, Pasangan calon kepala daerah dan atau Tim kampanyenya yang terbukti telah melakukan “money politics”,  dan proses pengenaan sanksi pembatalan sebagai pasangan calon melalui DPRD, apabila kasus tersebut sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Pasal 82 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah  jo Pasal 64 Peraturan Pemerintah  No. 6 tahun 2005, tentang Pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian Kepala daerah dan wakil kepala daerah, menyebutkan;
“Pasangan calon dan / atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih”.
Kemudian ketentuan Pasal 82 ayat (2)  Undang-Undang No. 32 tahun 2004,  menyebutkan;
“Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD”.
Namun demikian, upaya pembuktian telah terjadinya ‘money politics’ yang dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah maupun yang dilakukan oleh Tim kampanyenya sangat sulit untuk dibuktikan, karena selain kelemahan yang dimiliki oleh UU No. 32 tahun 2004 itu sendiri, hal ini  juga disebabakan oleh modus ‘money politics’ yang dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah atau tim kampanyenya sangat variatif, mulai dari pemberian sembako dan uang dengan embel-embel shodaqoh, menyantuni anak yatim piatu, dll. Selain itu, sangat jarang orang yang telah  menerima ‘money politics’ ini berani bersaksi di Pengadilan, sehingga akan menyulitkan proses pembuktian di pengadilan.
            Kedua, Pasangan calon kepala daerah yang terbukti telah menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang tidak diperbolehkan oleh Undang-undang No. 32 tahun 2004. Sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang dilarang adalah yang berasal dari; (i). negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing, (ii). penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya, (iii). pemerintah, BUMN, dan BUMD. Pasangan calon yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPUD paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye berakhir dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas daerah. Pasangan calon yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPUD.15
            Jadi sebenarnya, apabila pasangan calon Kepala Daerah dan wakil Kepala daerah terpilih, tetapi ternyata dalam kampanye terbukti telah menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang tidak diperbolehkan berdasarkan ketentuan pasal 85 UU No. 32 tahun 2004, maka dapat dibatalkan sebagai poasangan calon. Tetapi kelemahannya, KPU daerah seringkali tidak berani melakukan tindakan tegas atas pelanggaran tersebut. Selain itu, Undang-undang juga tidak mengatur secara tegas, apa sangsi dan konsekwensi apabila pasangan calon Kepala Daerah dan Tim kampanyenya tidak melaporkan dana kampanye yang telah digunakannya ke KPU Daerah, karena sebenarnya kewajiban bagi KPUD untuk menyerahkan laporan dana kampanye tersebut ke akuntan publik untuk diaudit dan kemudian pada akhirnya  harus diumumkan kepada masyarakat.16 
            Ketiga, Terkait dengan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Pasal 106 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004, menyebutkan; Apabila terdapat keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keberatan sebagaimana dimaksud hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
            Tetapi, sejalan dengan lahirnya UU No. 12 tahun 2008, tentang perubahan kedua atas UU No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, maka penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 15 tahun 2008, Tentang  Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasi Pemilihan Kepala Daerah.
            Dalam sejarah penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi ini, ada putusan yang sangat kontroversial yang dikeluarkan oleh MK dalam menangani sengketa hasil pilkada Jawa Timur, dimana melalui Putusan Nomor : 41/PHPU.D-VI/2008, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan atas sengketa hasil Pemilihan Kepala daerah di Provinsi Jawa Timur yang diajukan oleh Pasangan Khofifah Indar Parawansa – Mudjiono (Pasangan KaJi). Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu sangat mengejutkan banyak pihak dikarenakan diluar kelaziman dan menimbulkan kontroversi, karena Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur untuk; (i). Melakukan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah Putaran II di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak putusan diucapkan, (ii).  Melakukan Penghitungan suara ulang  Pemilihan Umum Kepala Daerah Putaran II di Kabupaten Pamekasan, dengan menghitung kembali secara berjenjang surat suara yang sudah dicoblos dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan.
            Putusan Mahkamah konstitusi yang memerintahkan untuk Melakukan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah Putaran II di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang sangat berlebihan dan janggal, bahkan Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya. Karena sejatinya semua yang terungkap dipersidangan berdasarkan pengakuan saksi-saksi yang ada tersebut merupakan pelanggaran Pemilihan Kepala daerah yang mengandung unsur  pidana dan hal tersebut merupakan ranah Panwaslu untuk selanjutnya diteruskan pada proses hukum yang bermuara pada pengadilan umum, dan bukan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. Karena berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 15 tahun 2008, Tentang  Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasi Pemilihan Kepala Daerah, maka yang menjadi obyek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yang mempengaruhi  Penentuan Pasangan calon atau terpilihnya Pasangan calon sebagai Kepala daerah dan wakil Kepala daerah. Selain itu Amar putusan seharusnya menyatakan; Permohonan tidak dapat diterima (ditolak) atau Permohonan dikabulkan dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPUD serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah.
            Jadi sebenarnya kewenangan Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya dalam menyelesaikan sengketa hasil perolehan suara pasangan calon saja, bukan menangani pelanggaran terhadap proses Pelaksanaan Pilkada, karena UU No. 32 tahun 2004, sudah memberikan atribusi kepada Panwaslu disemua tingkatan untuk menyelesaikan sengketa Pilkada pada setiap tahapan (proses). Dengan adanya putusan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung bukan hanya telah mengabaikan eksistensi Panwaslu disemua tingkatan tetapi juga tidak mempercayai sebuah institusi yang secara atributif diberikan kewenangan oleh UU untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran Pilkada. Selain itu, hal ini akan menjadi preseden buruk, bukan hanya bagi penyelesaian sengketa hasil Pilkada dimasa-masa yang akan datang, tetapi juga penyelesaian sengketa hasil Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Karena hal tersebut akan mejadi modus baru bagi pengajuan gugatan ke Mahkamah konstitusi, dimana bukan hanya sengketa hasil Pilkada/Pemilu yang akan diajukan, tetapi juga terkait dengan berbagai ’dugaan’ kecurangan selama proses Pilkada/Pemilu. Apabila hal tersebut terjadi, maka eksistensi Bawaslu, dan Panwaslu disemua tingkatan tidak ada artinya.
Semangat dan jiwa dalam menegakkan keadilan yang substantif (substantive justice) dan keadilan prosedural (prosedural justice) yang hendak diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam kasus ini kurang tepat, karena hal tersebut justru akan menimbulkan problem asas kepastian hukum dan keadilan dimasyarakat. Karena ketika hakim konstitusi melakukan rechtsvinding --- terobosan hukum (istilah yang digunakan ketua MK) melalui putusannya yang menyandarkan pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) jo. Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945, yang mengharuskan Pemilihan Kepala daerah dilakukan secara demokratis, dan tidak melanggar asas-asas umum Pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Maka seharusnya Mahkamah memberikan Putusan sela terlebih dahulu, untuk membuktikan kebenaran substantif dengan cara membuka kembali kotak-kotak suara di TPS mana yang dianggap ’bermasalah’ dan terungkap dalam persidangan untuk kemudian dihitung kembali. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk membuktikan sejauh mana kebenaran keterangan saksi-saksi yang ada, tetapi juga untuk membuktikan kebenaran materiil yang ’disangkakan’. Karena sangat sulit dinalar ketika hakim konstitusi yang telah memutuskan kasus tersebut hanya menyandarkan pada alat bukti dan keterangan saksi-saksi sudah begitu yakin telah terjadi kecurangan yang sistematis, terstruktur dan massif, tanpa adanya keinginan dari hakim untuk membuka ulang dan menghitung ulang Kotak suara  pada TPS yang dipersoalkan. Karena hanya dengan cara membuka Kotak suara dan menghitung ulang kartu suara, di TPS-TPS yang dianggap ’bermasalah’ akan menemukan kebenaran materiil.
            Seharusnya Mahkamah Konstitusi berkaca pada pengalaman penyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum legislatif tahun 2004 lalu --- tepatnya di Donggala dan Sorong Irjabar, dimana Mahkamah Konstitusi memenangkan permohonan sengketa hasil Pemilu yang didasarkan hanya pada pengakuan saksi-saksi dan Berita Acara Rekapitulasi Suara saja, padahal rekap suara yang dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut, tenyata merupakan rekapitulasi suara hasil manipulasi dan hal tersebut sudah diputuskan bersalah oleh Pengadilan Negeri, bahkan oknum KPUD yang  telah melakukan manipulasi telah diputus bersalah juga.
            Dalam mewujudkan kebenaran materiil yang berpijak pada penegakan keadilan yang substantif (substantive justice) dan keadilan prosedural (prosedural justice) dengan cara memerintahkan coblosan ulang tidak tepat, karena bukan hanya mengabaikan asas kepastian hukum, tetapi juga asas keadilan di masyarakat. Karena kepastian hukum obyek perselisihan Pemilukada, yaitu, apakah hanya sebatas sengketa hasil perolehan suara saja yang dapat ditangani oleh Mahkamah Konstitusi, atau lebih luas lagi dimana MK dapat juga menyelesaikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dan tahapan Pilkada. Jika demikian adanya, maka tentu Persidangan MK akan menjadi keranjang sampah terhadap berbagai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam proses dan tahapan Pilkada yang sangat mungkin dapat berpengaruh secara signifikan atas hasil akhir. Maka sudah barang tentu, akan sangat dimungkinkan munculnya gugatan baru lagi Ke Mahkamah Konstitusi dari Pasangan calon, entah diajukan oleh pasangan calon yang mana, apabila masih ’dianggap’ terjadi pelanggaran terhadap proses coblosan ulang. Kemudian bagaimana dengan hakekat final putusan dari Mahkamah Konstitusi ?. Akankah ada gugatan jilid II ke MK, dan tentu saja akan ada putusan MK Jilid II juga dalam sengketa hasil Pilkada tersebut.
Mahkamah Konstitusi memang telah memutuskan ’nasib’ beberapa Sengketa hasil Pilkada dibeberapa daerah dan tentu hanya masyarakat yang bisa menilai kearifan atas putusan tersebut, akan tetapi alangkah lebih arif dan bijaksana lagi, apabila memang Pemungutan suara ulang atau pencoblosan ulang menjadi sebuah keharusan dilakukan untuk membuktikan kebenaran dan menjamin keadilan yang substantif, maka seharusnya coblosan ulang dilakukan hanya pada TPS yang dianggap telah terjadi ’kecurangan’ saja,  bukan dilakukan coblosan ulang di semua TPS  yang ada.  Maka secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi telah menafikan suara masyarakat yang telah menggunakan hak pilihnya dan menafikan kerja-kerja petugas di tingkat TPS,  maupun ditingkat PPS dan PPK, yang secara sukarela bahkan tidak tidur berhari-hari guna menyiapkan segala sesuatunya agar Pilkada dapat berjalan sukses, oleh karena itu harus dipandang wajar, apabila reaksi mereka yang tidak bersedia lagi menjadi petugas KPPS, PPS ataupun PPK.  Begitu juga tugas-tugas pengawasan yang dilakukan oleh Panwaslu disemua tingkatan yang sudah berupaya semaksimal mungkin untuk mengawasi dan sekaligus mengawal Pilkada dengan damai.
Selain itu, tidak begitu urgen dan bermakna lagi, apakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berpijak pada penegakan keadilan yang substantif (substantive justice) dan keadilan prosedural (prosedural justice), apabila putusan tersebut dapat berimplikasi pada konflik politik yang berkepanjangan,  tentu kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi. Karena keadilan dan kebenaran yang hakiki datangnya hanya dari Allah SWT. Oleh karena itu, untuk menghindari penafsiran UUD 1945 yang terlalu berlebihan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi --- bahkan yang mengarah pada abuse of Power atas nama konstitusi, maka diperlukan upaya pengawasan dan sekaligus eksaminasi publik terhadap setiap Putusan Mahkamah Konstitusi, karena jangan sampai muncul ’tirani baru’ lewat putusan-putusan yang dihasilkan oleh sembilan ’Dewa’ konstitusi kita. Apabila hal tersebut terjadi, maka masa transisi menuju proses demokratisasi yang sedang kita bangun dan kita cita-citakan akan mengarah pada ketidakpastian.

C. Penutup

            Sejatinya masyarakat belum merasakan dampak positif dari pelaksanaan Pilkada langsung, tetapi justru masyarakat terjerembab pada kehidupan demokrasi yang menghalalkan segala cara, pragmatisme politik dan terseret pada konflik politik yang seharusnya tidak perlu, hal ini disebabkan karena kecenderungan elit politik yang bertarung dalam pilkada ketika mereka mengalami kekalahan akan menyeret masyarakat bawah pada pusaran konflik dan pengerahan massa. Dalam kaitannya dengan hal ini, Samuel P Huntungton dengan teori politik ‘air terjun’ nya, menyatakan; bahwa pada hakekatnya konflik politik yang terjadi ditingkat masyarakat akar rumput merupakan rembesan konflik ditingkat elit. Maka, seharusnya dengan Pilkada langsung pelembagaan konflik politik dalam perebutan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah harus disalurkan melalui prosedur yang sudah ditentukan oleh undang-undang, sehingga Pilkada langsung menjadi kompetisi yang sehat dalam merebutkan jabatan publik di daerah. Untuk itu diperlukan kedewasaan elit yang bertarung untuk siap menang dan siap untuk menerima kekalahan.

D. Saran

             Untuk menghindari kekecewaan dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengalami kekalahan, maka hendaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada setiap tahapan Pilkada yang mengandung unsur pidana, harus tetap diproses, terutama pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, karena bukan saja akan meredam kekecewaan pasangan calon yang kalah, tetapi lebih dari itu untuk memberikan pendidikan politik dan hukum bagi pihak-pihak yang berkompetisi dalam Pilkada.  Sehingga, Pasangan calon Kepala daerah dan Wakil kepala daerah yang terpilih dapat dikenakan sangsi pembatalan oleh DPRD, apabila ternyata dalam pelaksanaan Pilkada terbukti telah melakukan pelanggaran pidana “money politics”,  dan apabila kasus tersebut sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Begitu juga dengan Pasangan calon kepala daerah yang terbukti telah menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing,  penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya, pemerintah, BUMN, dan BUMD. Pasangan calon yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPUD. Dalam konteks ini, maka perlu keberanian dari KPUD untuk membatalkan pasangan calon Kepala Daerah dan wakil Kepala daerah terpilih, apabila terbukti telah menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang tidak diperbolehkan berdasarkan ketentuan pasal 85 UU No. 32 tahun 2004.
Semoga, Pilkada yang dihelat beberapa daerah ditahun 2010 ini mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari pelaksanaan Pilkada sebelumnya, dan yang paling urgen lagi adalah mampu menghasilkan calon Kepala daerah yang betul-betul memahami harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya, Amien.



DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta, Penerbit Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Fadjar, A. Mukthie, 2002, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, dalam Konstitusi Baru melalui Komisi Konstitusi Independen, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar harapan.
Hamidi, Jazim, 2006, Revolusi Hukum Indonesia, Makna. Kedudukan, dan implikasi hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press & Citra Media Yogyakarta.
Manan, Bagir, 2000, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Mashad, Dhurorudin dkk, 2005, Konflik Antar Elit Politik lokal dalam Pemilihan kepala daerah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Rosyada, Dede dkk, 2003, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta, Penerbit Prenada Media.
Syahuri, Taufiqurrahman, 2004, Hukum Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia.
Sodiki, Ahmad, Konstitusionalitas Pemilihan Umum Model Masyarakat Yahukimo, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor  2, Juli 2009, Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Syaukani, Imam, dkk, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada.
Tricahyo, Ibnu, Reformasi Pemilu, menuju pemisahan pemilu nasional dan lokal, Malang, Penerbit In-Trans Publishing, 2009.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, 2006, Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 12 tahun 2008, Tentang Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit Fokusmedia, Cetakan Mei 2008.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005, tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor : 2 juli 2009, Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 41/PHPU.D-VI/2008, tentang sengketa hasil Pemilihan Kepala daerah di Provinsi Jawa Timur.
1  Lihat lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan daerah.Lihat dan bandingkan juga dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.


2 . Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-undang No. 22 tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah yang sudah direvisi secara terbatas dengan Undang-Undang No. 12 tahun 2008, pasca putusan Mahkamah Konstitusi.
3 Dalam  ketentuan Pasal 236 C Undang-Undang No. 12 tahun 2008, dan bandingkan dengan ketentuan Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang menyebutkan; Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan  kepala daerah dan wakil kepala daerah. Lihat dan bandingkan juga dalam A.Mukthie Fadjar, Pemilu yang demokratis dan berkualitas; Penyelesaian Hukum pelanggaran Pemilu dan PHPU, dalam Jurnal Konstitusi Volume 6 No.1, April 2009.
4 Ibnu Tricahyo, Reformasi Pemilu, menuju pemisahan pemilu nasional dan lokal, (Malang : Penerbit In-Trans Publishing, 2009), hlm. 81.
5 Ibnu Tricahyo, Reformasi Pemilu, menuju pemisahan pemilu nasional … Ibid., hlm, 81.
6 Pilkada Langsung di Kabupaten Tuban – Jawa Timur, merupakan contoh kasus yang paling nyata atas Pilkada Langsung yang diwarnai dengan anarkisme massa pasca Pilkada langsung yang disebabkan oleh kekalahan pasangan calon bupati dan wakil bupati yang didukungnya. Begitu juga dengan Pemilihan Gubernur secara Langusung di Maluku Utara yang penetapannya berlarut larut yang dikarenakan Rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU daerah terdapat dua rekapitulasi suara yang isinya berbeda, sehingga hal inilah yang dijadikan dasar untuk mengajukan gugatan hasil Pilkada langsung ke Mahkamah Agung (MA). 
7 Dibeberapa daerah tidak jarang pasangan calon yang terpilih didukung oleh elit ekonomi (pengusaha ’hitam’) yang sudah pasti akan menagih janji ketika terpilih melalui berbagai proyek --- termasuk mereslagh aset-aset daerah yang strategis untuk kepentingan tertentu.
8 Setidaknya wacana ini pernah dikemukakan oleh Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi yang pernah mewacanakan perlunya penghapusan Pilkada Langsung dan Pilkada perlu dikembalikan pada mekanisme semula, yaitu dipilih oleh DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.
9 Dhurorudin Mashad dkk, Konflik Antar Elit Politik lokal dalam Pemilihan kepala daerah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 7.
10 Pasal 65 UU No. 32 tahun 2004, menyebutkan; Pilkada dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan. Masa persiapan sebagaimana dimaksud, meliputi; (i). Pemberitahuan DPRD kepada  kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan, (ii).  Pemberitahuan DPRD kepada  KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah, (iii). Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, (iv). Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS, dan KPPS, (v). Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. Sedangkan tahap pelaksanaan meliputi; (i). Penetapan daftar Pemilih, (ii). Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, (iii). Kampanye, (iv).Pemungutan suara, (v). Penghitungan suara, dan (vi). Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
11 Seperti pelanggaran konvoi atau arak-arakan di jalan protokol, kampanye yang dilakukan oleh Pasangan calon atau tim kampanyenya diluar jadwal yang telah ditentukan, selain merupakan pelanggaran administratif, juga merupakan pelanggaran pidana.
12 Undang-undang No. 32 tahun 2004, dan Undang-undang No. 12 tahun 2008, tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah.

13 Kemudian sejalan dengan keluarnya Undang-undang No. 12 tahun 2008, tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, terdapat perubahan dalam ketentuan Pasal 115, dimana sebelumnya ancaman pidananya paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) bulan menjadi paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama menjadi 12 (dua belas) bulan.

14 lihat lebih lanjut pasal 110 dan pasal 111 PP No. 6 tahun 2005, tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
15  Pasal 85 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 32 tahun 2004.
16 Pasal Pasal 84 UU No. 32 tahun 2004.

Bin Laden Tetap Misteri, Ide Teroris Tak Pernah Mati


Oleh : Amru Alba Abqa, S.Ap
Nama aslinya Usamah bin Ladin (54), lidah Amerika menyebutnya Osama bin Laden, pimpinan Al Qaida ini adalah orang yang paling dicari oleh Amerika Serikat dan dijanjikan akan diberikan hadiah $ 25 juta US bagi yang bisa memberi informasi tentang keberadaannya. Osama Bin Laden lahir di Riyadh, Arab Saudi, 19 Maret 1957, tewas minggu (1/5/2011) bersama tiga pria dan seorang perempuan di Abbottabad, Pakistan atas serangan pasukan elit AS Navy SEALS. Bin Laden, sebelumnya pernah beberapa kali dikabarkan tewas tetapi setelah itu muncul lagi, sehingga berita kematiannya kali ini disangsikan banyak orang. Untuk membuktikan ini, Presiden Amerika Serikat, Barak Obama mengatakan “Anda tidak akan melihat Osama lagi berjalan dibumi ini," (Associated Press) Kamis (5/5/2011). Bin Laden adalah otak pelaku serangan gedung WTC Amerika Serikat 11 September 2001 yang menewaskan hampir 3.000 orang, sehingga memaksa AS melakukan perang panjang dengan teroris selama 9 tahun lebih.
Banyak orang meragukan kematian Bin Laden karena jenazahnya tidak dipublikasikan, mayat Osama dikubur dilaut, rekaman video proses pemakaman ada tetapi tidak dipublikasi, photo Osama mirip photo yang pernah dipublikasikan beberapa tahun yang lalu dan gaya Menlu AS Hillary Rodham Clinton saat menonton rilis aksi serbuan tentara AS bersama Presiden Barak Obama, Wapres Joe Biden dan beberapa pejabat tinggi AS lainnya di Situation Room Gedung Putih, Washington DC juga dipermasalahkan. Obama memutuskan untuk tidak mempublikasikan photo jenazah Bin Laden karena menurutnya bersenang-senang diatas kesusahan orang lain dengan memperlihatkan photo jenazah Osama bukan cara kita kata Obama dalam wawancara dengan jaringan televisi CBS News.
Jasat Osama tidak dipublikasikan karena sangat mengerikan dan bisa memunculkan konflik baru kata juru bicara Gedung Putih, Jay Charney. Sedangkan menurut Menteri Pertahanan AS Robert M. Gates, memperlihatkan photo jenazah Osama akan menimbulkan resiko bagi keamanan Amerika. Akibat dari Obama tidak mengizinkan dipublikasikannya photo mayat Bin Laden, memicu kemarahan penasehat keamanan Obama sendiri karena masyarakat akan beranggapan bahwa kematian Osama tidak benar, bahkan masyarakat bisa saja menilai Osama tidak dibunuh tetapi disembunyikan (Associated Press, 5/5/2011).
Surat kabar Inggeris The Guardian juga mengatakan, photo kematian Osama adalah photo rekayasa, photo itu adalah dua photo Osama yang disatukan, salah satu diantaranya adalah photo asli Osama yang diambil tahun 1998 dan sudah pernah dipublikasikan oleh kantor berita Reuters sebelumnya. Bagian atas photo tersebut katanya sama seperti photo Osama beberapa tahun yang lalu sedangkan bagian bawah tampak adanya perbedaan warna kulit dengan bagian atas. Seorang fotografer dari Kenna Linsday seperti dikutip CNN pada hari Rabu (4/5/2011) mengatakan "Saya sudah melihat ribuan foto palsu yang direkayasa dan bisa dipastikan foto tersebut juga palsu,"
Serambi Indonesia hari Rabu (4/5/2011) merilis photo sejumlah pejabat AS sedang menyaksikan aksi serbuan tentara khusus AS yang berhasil membunuh Osama bin Laden. Photo ini juga menuai kontroversi, khususnya gaya Hillary yang tampak menutup mulutnya bersama pejabat senior AS lainnya yang tampak tegang. Apa arti dari pose Hillary yang seperti itu? Apakah dia merasa cemas melihat perilaku pasukan AS saat membunuh Osama?  (Okeyzone.com) tetapi Hillary membantah issu itu, dia mengatakan pose itu tidak punya makna apa-apa, dia hanya sedang mencegah alergi batuk, dia tidak tahu, apa yang ada diantara pejabat AS saat menyaksikan tayangan itu. Maka untuk membuktikan bahwa jenazah itu benar pemimpin Al Qaida, pihak Amerika melakukan tes DNA dan menggunakan teknik pengenalan wajah.
Sedangkan tentang jasat Osama yang dikuburkan di laut, pejabat AS beralasan jika jenazah Osama dikuburkan di darat, mereka khawatir, lokasi pemakamannya bisa menjadi tempat suci bagi para pengikut setia Osama bin Laden. Menjadi pertanyaan, memangnya kenapa, apa ruginya dan apa hubungannya sama Amerika jika makam Osama dijadikan tempat suci oleh para pengikutnya, bukankah itu hak setiap pengikut dan simpatisan Osama untuk menghormatinya?. Walaupun dikuburkan dilaut, orang-orang yang bersimpati padanya tetap mengenangnya, simpatisan Osama tetap mendatangi tepi laut tempat pemakaman Osama.
Banyak orang bersuka cita dengan tewasnya pimpinan Al Qaida ini, Menlu Hongaria Janos Martonyi mengatakan “Salah satu musuh terbesar dari peradaban kita telah tiada” tetapi Ketua Uni Eropa mengingatkan bahwa perlawanan dari terorisme masih jauh dari selesai., tewasnya Osama tidak serta merta mengakhiri perlawanan terhadap teroris. Salah seorang Pejabat Yaman mengatakan “Kami berharap tewasnya Bin Laden menjadi awal berakhirnya teror” tetapi Direktur CIA, Leon Panetta mengatakan “Bin Laden telah mati, tetapi Al Qaida tidak”.
 “Kematian Bin Laden merupakan kebaikan untuk perdamaian, tewasnya Bin Laden merupakan berita baik untuk perdamaian tetapi ideologinya yang telah tersebar di seluruh dunia juga harus dibasmi kata pejabat Palestina” (Serambi Indonesia, 3/5/11). Sebelumnya Forum Al Qaida meminta menunggu konfirmasi tentang kematian Osama dari sumber-sumber Mujahidin tetapi situs teroris itu juga sudah terlanjur menyampaikan pesan doa dan sumpah bahwa gerakan itu akan berlanjut, ini membuktikan bahwa Osama benar telah tiada. Belakangan Al Qaida memastikan kematian Osama, namun Taliban memperingatkan bahwa mereka yang kegirangan dengan kematian Osama akan menghadapi darah bercampur air mata.
Di satu pihak, Osama adalah gembong teroris paling dicari didunia, dia telah menyebabkan warga Arab dan muslim dicurigai sebagai teroris. Banyak pemimpin dunia yang langsung mengucapkan selamat kepada Presiden AS Barak Obama pada hari pertama tewasnya Bin Laden, seperti Presiden Perancis Nikolas Sharkozy, Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Kenya Mwai Kibaki. Sementara dibeberapa tempat, Osama dianggap sebagai seorang pahlawan karena perjuangannya melawan non muslem dengan kekuatan super dan mampu membakar semangat hidup anggota Al Qaida dengan nama singa tentara suci dan pembalasan keadilan yang tidak tersentuh barat.
Kematian pemimpin Al Qaida itu tidak berarti apa-apa karena Osama hanya simbul dan sudah lama beristirahat, dia akan segera digantikan oleh komandan yang lebih muda (Duber Rusia untuk NATO). Kemungkinan besar Ayman al Zawahari akan menggantikan posisi Osama bin Laden, tetapi belum ada pengumuman resmi dari Al Qaida bahwa pria asal Mesir ini yang akan menjadi pemimpin Al Qaida kedepan. Rasanya sulit dipercaya jika pasukan seelit Navy SEALS tidak mampu menangkap Osama hidup-hidup kecuali AS memang tidak pernah merencanakan menangkapnya hidup-hidup.
Apa dasar hukum membunuh Osama? Apakah legal menembaknya padahal dia tidak bersenjata?, Apa benar perlu mengeksekusinya ditempat? (Christof Heyns). Hanya satu orang yang  memiliki senjata dari lima orang yang tewas ditembak pasukan AS. Sang kurir yang menembak anggota Navy SEALS langsung ditembak mati dilantai satu pada menit-menit awal penyerbuan kerumah berlantai tiga itu. Pembunuhan Osama bin Laden sebagai tindakan yang menjijikkan, Osama tidak bersenjata saat dikelilingi oleh keluarganya sebelum dibantai dikamar pribadinya (Fidel Castro). Seharusnya Osama ditangkap dan diadili, sebab setelah tentara AS menembak Abu Ahmed al Kuwaiti, tentara AS tidak pernah lagi ditembak dari dalam rumah tetapi salah seorang anggota Navy SEALS mengatakan Osama ditembak karena memakai jubah, dengan dugaan Osama menyembunyikan bom dibalik piyama yang digunakannya, jika ada niat menyerah maka Osama harus tanpa baju katanya.
Penulis adalah Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh (PERMATA ACEH) Banda Aceh